Kamis, 31 Desember 2009

MK Tentukan Nasib Calon Advokat

Ini merupakan jalan keluar yang baik atas ketidakjelasan nasib yang menimpa para calon advokat, setelah sebelumnya Mahkamah Agung mengeluarkan KMA nomor 052/KMA/V/2009 tanggal 1 Mei 2009 ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia yang berisi tentang: 

“Ketua Mahkamah Agung meminta kepada ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap perselisihan didalam organisasi advokat berarti Ketua Pengadilan tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Walaupun demikian, Advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai Pasal 4 tersebut diatas tidak bisa dihalangi untuk beracara di Pengadilan terlepas dari organisasi manapun ia berasal, apabila ada advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal tersebut (bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi) maka sumpahnya dianggap tidak sah sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan…” 

Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Desember 2009 pukul 14.00 WIB telah memutuskan Permohonan Pengujian UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat pasal 4 ayat (1) yang berbunyi:
“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tingi di wilayah domisili hukumnya”
Permohonan ini diajukan oleh 3 (tiga) orang Kandidat Advokat yang isu utamanya adalah tentang penyumpahan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukum.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan bahwa:

  • Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  • Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
  • Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;

Atas dasar putusan ini Pengadilan Tinggi wajib menyumpah Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan adanya beberapa Organisasi Advokat yang sekarang ini ada (KAI, Peradi, ataupun Peradin). Unduh putusan lengkap disini.

Selamat untuk seluruh Kandidat Advokat.



Kamis, 24 Desember 2009

/rif Bukan Radja Dan Buka Pula Orang Biasa

Kalau tidak salah, terakhir saya menyaksikan penampilan /rif adalah pada tahun 2006 di PRJ atau bahkan 2004, setelahnya belum pernah lagi sampai akhirnya mereka main di kampus saya pada Kamis, 24 Desember 2009.

Benar-benar berpenampilan sebagai seorang rock star, sepatu boot, celana ketat dari kulit, baju lengan buntung sembari memamerkan tattoo dari masing-masing personil. Membuka penampilannya dengan single Fight, duet gitar Adjie Pamungkas (a.k.a Jikun) dan Noviar Rachmansyah (a. k. a. Ovi) memulai lagu ini. Fight sendiri menceritakan tentang ambisi manusia-manusia dalam merebut kekuasaan, rencananya lagu ini akan dimasukkan dalam album baru mereka, dan sekarang Fight masih beredar gratis di internet.

Tanpa ampun, vokalis yang gemar topu Cowboy melanjutkan dengan lagu keramat, yaitu Radja. Keramat karena lagu ini adalah lagu yang membuat nama mereka populer pada tahun 1996. Kemudian Radja pun menjadi titel album pertama mereka yang dirilis tahun 1997. Spontan saja semua penonton yang sudah menunggu lagu ini bernyanyi dengan histeris. ”Tapi ku bukan Radja, ku hanya orang biasa yang selalu dijadikan alas kaki para sang Radja.....” teriak vokalis yang memiliki nama asli Restu Triandi (biasa disapa Andi) yang diikuti oleh penonton.

Selanjutnya Andi pun berbasa-basi komunikasi dengan penonton. Nuansa optimisme seorang pemuda berkali-kali ia lontarkan ke penonton. ”Mari jadikan dunia Indonesia ini lebih baik” teriak Andi yang serta merta disambut cabikan Bass Teddy -menggantikan posisi Iwan- membuka Dunia, salah satu judul lagu dari album .....dan dunia pun tersenyum... yang dirilis tahun 2000.

Penampilan garang tentulah bukan berarti mereka tidak bisa menciptakan lagu manis. Karena lagu Bunga -yang lagi-lagi diambil dari album Radja- menjadi buktinya. Betapa manisnya petikan gitar Jikun bersahutan dengan Ovi yang diisi nyanyian Andi menjadi lagu keempat yang mereka bawakan malam itu. ”Pastinya kalian ingat dengan siapa pertama kali kalian berciuman dalam hidup. Hal itu nggak mungkin terlupakan” sapa Andi kepada penonton sebelum kemudian membawakan lagu baru mereka berjudul First Kiss

Di sela-sela lagu mereka masih sempatnya mencerca Kangen Band, Hijau Daun, Wali dll. Sesuatu yang menurut saya tidak perlu, karena cukuplah mereka berpenampilan sebaik mungkin untuk membuktikannya. Jeni dari album Radja dibawakan dengan mantab. Saya sebenarnya tidak terlalu suka sama lagu ini, tetapi setelah melihat mereka memainkan secara live, pandangan saya pun berubah, lagu ini adalah lagu /rif yang paling rock n roll. 

”Jangan berharap ada lagu seperti Hijau Daun atau Kangen Band malam ini karena kami tidak bisa menciptakannya, lagu kami ini memang tidak selaku RBT yang banyak dipakai orang-orang saat ini, tapi semoga lagu ini laku bagian kalian semua malam ini”, Andi berkoar memperkenalkan lagu yang berjudul Awan Hitam, yang pembuatan lagunya terinspirasi dari keprihatinan mereka terhadap tragedi-tragedi Bom di Indonesia.

Sudah bisa ditebak, Lo Tu Ye dari album Nikmati Aja (2000) menjadi pamungkas /rif malam itu. Lagu yang memang membuat siapa saja bergoyang meski baru pertama kali mendengarnya. Tampak di belakang perangkat drum, Magi Trisandi gagah mengawal beat-beat dari rekan satu bandnya. Sepertinya /rif memang kurang berani memperkenalkan lagu-lagu mereka yang lain, karena malam itu tak ada satupun lagu dari album Salami (1998) dan bahkan dari album terbaru mereka Pil Malu (2006).
Malam itu, band asal Bandung ini memang tidak mengaku sebagai Radja, tapi sebagai sebuah band Rock Indonesia yang menutup acara KREMMASI pada pukul 21.50 WIB, mereka tak bisa juga disebut sebagai orang biasa. Maju terus Rock Indonesia !!!


Rabu, 23 Desember 2009

Nilai 467 Dus Kaleng

Kamis, 24 Desember 2009 | 03:08 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03083226/Nilai.467.Dus.Kaleng

Pukul 03.00, Jumat, 7 November 2003. Yakobus Lay (65) alias Lay Cung Sin, warga Nusa Tenggara Timur, bersama sopirnya membawa barang dagangan, 467 dus minuman kaleng dagangannya. Sudah empat tahun Yakobus berdagang minuman sehingga ia tidak merasa ada yang aneh saat berpapasan dengan rombongan aparat militer dan polisi sekitar 8 kilometer dari perbatasan dengan Timor Leste. Apalagi, di kampung sebelumnya, di dekat Desa Aitoun, Yakobus telah bertemu rombongan itu.

”Rupanya mereka tunggu di hutan, di tempat yang tidak ada rumah,” katanya.

Oknum Koramil dan Polsek Weluli itu bertanya, akan ke mana dus-dus minuman itu dibawa. ”Akan dibawa ke Desa Beilalu,” kata ayah enam anak ini sambil menyebut salah satu langganannya. Oknum polisi meminta Rp 5 juta. Yakobus menolak. Ia beralasan untuk meminjam motor agar bisa melaporkan pemerasan ini ke Polres Belu. ”Tapi, mereka tidak kasih,” ceritanya.

Paginya, Yakobus dibawa ke Polres Atambua. Di sana ia diperiksa sebagai tersangka penyelundupan. ”Saya sempat liat dus saya ada di satu ruangan di Polres Atambua,” kata Yakobus. Tanggal 13 Februari 2004, Yakobus dipindahkan ke rutan setelah berkas perkara dan barang bukti miliknya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Atambua.

Di sini masalah muncul lagi. Setelah empat hari masuk rutan, ia dimintai uang Rp 1,25 juta oleh oknum Kejari Atambua berinisial M agar truk bisa diambil pemiliknya. Yakobus sempat meminta penangguhan penahanan lewat anaknya, Yus. Untuk itu, dia diharuskan membayar Rp 7,5 juta oleh oknum M tadi. Setelah ditahan selama 21 hari dan sempat disuruh tidur di lantai sel tanpa alas, akhirnya pada tanggal 3 Maret 2004, Yakobus bisa keluar dari rutan. Ia sempat diminta untuk menandatangani surat pelelangan barang bukti oleh seorang oknum jaksa. ”Saya tidak mau karena proses hukum belum selesai,” kata Yakobus.

Oleh Pengadilan Negeri Atambua, 11 Oktober 2004, Yakobus dinyatakan melanggar Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan tentang penyelundupan. Mendapat hukuman 1,5 bulan penjara dan denda Rp 500.000 itu, Yakobus yang diadili tanpa didampingi pengacara itu naik banding. Oleh Pengadilan Tinggi Kupang, 13 Desember 2004, ia dinyatakan tidak bersalah dan Pengadilan Tinggi Kupang memerintahkan agar barang bukti berupa 467 dus minuman kaleng yang masing-masing berisi 24 kaleng minuman itu dikembalikan ke Yakobus. Putusan ini kemudian dikuatkan Mahkamah Agung pada 6 Oktober 2005.

Sudah lebih dari empat tahun, 467 dus minuman itu belum dikembalikan juga. Bagi Yakobus, itulah harapannya untuk menyambung hidup setelah sebagian besar tanah dan rumahnya dijual untuk membiayai transaksi-transaksi gelap di proses hukumnya dan biaya hidupnya. ”Semua sudah habis....,” katanya terpotong isakan.

Pembicaraan dilanjutkan oleh Andi Muttaqien dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurut Andi, pihaknya telah membantu Yakobus membuat kronologi peristiwa, berdasarkan cerita pria yang tidak bisa menulis ini. Selanjutnya, pihak YLBHI, Rabu (23/12), menyurati kejaksaan untuk mempertanyakan misteri hilangnya 467 dus kaleng minuman itu. ”Menurut hukum, barang bukti yang berkaitan dengan upaya mencari nafkah harus dikembalikan,” kata Andi.

Sudah sebulan Yakobus kos di bilangan Kramat, Jakarta. Ia masih terus berjuang. Semakin sedikit jumlah tanah dan harta yang bisa ia jual. Padahal, dua anaknya yang terkecil, berusia 9 dan 12 tahun, masih membutuhkan biaya. (EDNa c pattisina)


Selasa, 22 Desember 2009

Mereka memeras Yakobus, menghukumnya, memenjarakannya



Rambut putihnya menandakan usianya yang cukup senja. Berjalan sedikit membungkuk menaiki tangga, orang tua ini menaruh harapan besar pada kantor yang sedang didatanginya. 

Yakobus Lay alias Asinku, seorang pria 65 tahun. Matahari sudah mulai terik ketika ia datang, tapi belum juga melewati atas kepala. Diterima oleh seorang Pekerja Bantuan Hukum di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro 74, Selasa (22/12), orang tua ini bercerita tentang kasus yang dialaminya.

Dia adalah seorang pedagang minuman kaleng (Sprite, Fanta, Coca-Cola, dll), yang membeli di sebuah toko besar kemudian mendistribusikannya ke toko-toko di daerah lain. Bertempat tinggal di RT 011/RW 002, Lingkungan Nitasren, Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Atambua, Belu, sebuah desa di NTT. Tempat tinggalnya sekarang hanya berupa pondokan kecil yang dibuatnya sendiri. Sedangkan rumahnya yang dahulu ia tempati di Fulur, Desa Dulur, Kecamatan Lamaknen, di Kabupaten yang sama telah dijual demi membiayai proses hukum yang membelit dirinya

Usaha menjual minuman kaleng ini sudah dijalaninya sejak tahun 1999. Sebelumnya dia sempat tinggal di Timor Timur (sekarang Timor Leste) selama 10 tahun. Namun pascajajak pendapat yang diikuti berdirinya Negara Timor Leste, ayah dari enam anak ini kembali ke Indonesia dan memulai usahanya dengan membuka toko di rumahnya yang waktu itu berada di Fulur, sekitar 40 Km dari Atambua. 

Sampai tahun 2003 usahanya cukup maju dan memiliki banyak langganan. Tak seperti biasanya, suatu kali, dia mendapat pesanan minuman sejumlah 500 dus oleh Paulinus Asa warga Beilalu pada tanggal 5 November 2003. Baginya ini merupakan rezeki yang tak boleh ditolak, oleh karenanya keesokan harinya jam 2 siang Yakobus Lay membeli minuman di Toko Daya di Atambua yaitu Fanta, Sprite, Coca cola sebanyak 400 dus dengan total pembelian Rp 26.800.000,- (dua puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah). Minuman itu akan dibawanya ke Desa Beilalu, Kec. Lamaknen, Kab. Belu dengan menyewa truk dari Hironimus Atok.

Waktu menunjukkan pukul setengah 20.30, sebelum ke Beilalu dia mampir ke rumahnya di Fulur untuk menambah 59 dus Fanta, Sprite dan Coca Cola, 5 dus Anggur Kolesom dan 3 dus Bir Bintang, sehingga total dus minuman yang diangkut truk adalah 467 dus, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Beilalu. 

Malam hari dia melanjutkan perjalanan, ketika di Kampung Boru, Desa Aitoun, Kec Raibat, Kab. Belu tiga motor menyalipnya, tak lama kemudian sesampainya di hutan sekitar pukul 03.00 pagi, ketiga motor tersebut mencegatnya. Lima orang pengendara motor tersebut mengaku sebagai Petugas Patroli Gabungan TNI-Polri dan menanyakan kemana barang ini akan dibawa.

Yakobus menjawab: ”Akan dibawa ke Beilalu Pak.” 

Namun tak disangka mereka justru memeras penjual minuman kaleng ini. Kepada Yakobus, Matheus Yoseph Mau, salah seorang oknum meminta uang sebesar Rp 5 juta, namun Yakobus hanya sanggup memberi Rp 1 juta rupiah. Matheus kembali bertanya: ”Kami ini berlima, bagaimana membaginya?” 

Selain Matheus lainnya adalah Chriss Bossa (PNS Koramil), Arnoldus Mau, Yoyok Biantoro (Polisi) dan seorang lagi. Kebingungan menghadapi oknum ini, Yakobus coba meminjam motor mereka untuk berpura-pura mengambil uang di rumahnya -padahal ingin melapor ke Polsek Weiluli-, namun ternyata motor tak dapat dipinjamkan. 

Tak dapat memenuhi permintaan uang Rp 5 juta, Yakobus dilaporkan melakukan tindak pidana "mencoba mengekspor barang (penyelundupan)” sebagaimana Pasal 102 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 

Yakobus segera digiring ke Polres Atambua. Di sana Yakobus disuruh turun dari truk kemudian difoto beserta minuman sejumlah 467 dus miliknya yang dijadikan barang bukti. Dia dituduh akan menyelundupkan 467 dus minuman kaleng ke Timor Leste.

Tak pernah dibayangkan mendapat masalah seperti ini, kepercayaannya kepada aparat penegak hukum mulai pudar sejak itu. Ia pun harus menjalankan proses penyidikan, dimana Yakobus dimintai keterangan oleh Polsek Atambua. Awalnya dia sempat didampingi oleh advokat yang bernama Jemi, namun malang setelah tiga kali pendampingan di penyidikan, ia kemudian ditinggal advokatnya karena memang diduga pengacaranya menjadi bagian konspirasi bersama oknum Polsek Atambua.

Atas tuduhan usaha penyelundupan ini, Yakobus ditahan Jaksa Penuntut Umum selama 21 hari sejak 13 Februari 2004 s.d 3 Maret 2004 di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Perlakuan yang merendahkan martabat pun dialaminya, ketika pertama kali masuk Rutan, Yakobus disuruh buka baju, celana dilipat selutut dan berjalan jongkok menuju selnya. Selain itu, pernah beberapa kali disuruh tidur di lantai tanpa sehelai benang pun menjadi pembatas antara kulit punggungnya dengan lantai.

Yakobus sempat diminta menandatangani surat pelelangan barang bukti (467 dus minuman) oleh Jaksa, padahal Persidangan belum dimulai dan belum ada putusan pengadilan yang memerintahkan untuk melelangnya, segera saja Yakobus menolaknya. Yus, salah seorang anaknya meminta Penangguhan Penahanan Ayahnya, karena menurutnya Ayahnya bukanlah pencuri, pembunuh atau merampas uang negara miliaran rupiah. Alasan lainnya adalah dengan ditahannya sang Ayah mereka sekeluarga tidak ada yang menafkahi. Namun, justru anaknya ini dimintai uang sebesar Rp 7,5 juta oleh oknum Kejaksaan sebagai tebusan. Uang pun dikasih, namun penangguhan tak kunjung terkabul.

Proses persidangan dijalaninya tanpa dampingan seorang advokat. Untunglah Romo Paulus, seorang pendeta di salah satu Gereja Atambua bisa memberikan nasihat-nasihatnya kepada Yakobus. Persidangan demi persidangan yang dimulai sekitar bulan September dilaluinya dengan tabah, tujuannya hanya satu: agar ia dinyatakan tidak bersalah oleh Majelis Hakim PN Atambua, sehingga minuman kaleng dagangannya bisa segera kembali dan ia dapat kembali menafkahi anak dan istrinya.

Tak seindah harapannya, Senin, 11 Oktober 2004, Pengadilan Negeri Atambua dalam Putusannya Nomor: /PID/B/2004/PN.ATB menyatakan bahwa Yakobus Lay telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mencoba mengekspor barang (penyelundupan)” sebagaimana Pasal 102 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Yakobus dipidana penjara selama 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas) hari dan denda sebesar Rp 500.000,- subsidair 1 bulan kurungan. 

Terhadap Putusan ini, Yakobus menyatakan Banding. Dia tidak terima Putusan tersebut, karena jelas dia tidak bersalah sedikit pun. 

Kegigihan memperjuangkan haknya mulai membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi Kupang pada Senin, 13 Desember 2004 membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Atambua, 11 Oktober 2004, nomor: 29/Pid.B/2004/PN.Atb, yang dimohonkan Banding. Dalam putusannya Nomor 165/PID/2004/PTK, PT Kupang menyatakan bahwa Yakobus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana yang didakwakan kepadanya; meminta agar memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; dan memerintahkan barang bukti berupa 467 dus minuman, yang terdiri dai 170 dus Sprite, 91 dus Fanta, 198 dus Coca Cola, 3 dus Bir Bintang dan 3 dus Anggur Kolesom yang disita Kejaksaan Negeri Atambua segera dikembalikan kepada Yakobus.

Tidak puas, kali ini justru Jaksa Penuntut Umum yang memohonkan Kasasi ke Mahkamah Agung atas Putusan PT Kupang. Bersama Romo Paulus, Yakobus membuat Kontra Memori Kasasi atas Memori Kasasi JPU. Syukurlah, ternyata keadilan masih berpihak pada orang tua yang tak bisa menulis ini. Kamis, 6 Oktober 2005 Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum pada Kejari Atambua melalui Putusannya Nomor: 967 K/Pid/2005. Oleh karena Permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum ditolak, maka Putusan Pengadilan Tinggi Kupang-lah yang berlaku.

Meskipun sejak tahun 2005 Mahkamah Agung telah menolak Kasasi yang dimohonkan Jaksa/Penuntut Umum, sampai detik ini semua barang bukti berupa 467 dus yang berisi kaleng minuman tidak kunjung dikembalikan kepada Yakobus. Padahal minuman itu merupakan sumber penghidupan dia dan keluarganya.  

Pascaputusan dari Mahkamah Agung, Yakobus telah melakukan berbagai upaya demi kembali hak-haknya yang masih disita oleh Kejaksaan Negeri Atambua. Bersama PMKRI calon cabang Atambua, Yakobus didampingi dalam melakukan audiensi kepada beberapa lembaga, yaitu: pihak Kepolisian, pihak Bea Cukai, Kejaksaan Negeri Atambua dan DPRD Kabupaten Belu. PMKRI membantu mendesak agar pihak Kejaksaan Negeri Atambua segera mengeksekusi Putusan PT Kupang, namun Kejaksaan Negeri Atambua hanya bersedia mengganti barang-barang yang hilang, sedangkan yang sudah kadaluarsa akan dikembalikan kepada Yakobus. Hal ini sangat merugikan Yakobus, karena dari minuman itulah penghasilan dia didapat untuk menghidupi keluarganya dan sangat banyak modal yang telah dikeluarkannya untuk membeli minuman tersebut, serta menjalani proses persidangan.

Yakobus pun pernah konsultasi dengan Ombudsman di Kupang, pihak Kejaksaan Tinggi Kupang, Pengadilan Tinggi Kupang, dan Pimpinan DPRD Provinsi NTT. Namun ternyata tetap tanpa hasil, karena mereka hanya menyarankan agar Yakobus melakukan pendekatan pada Kejaksaan Negeri Atambua.

Potret kenyataan yang dialami Yakobus merupakan akibat dari keterpurukan integritas penegak Hukum dan kesewenang-wenangan mereka. Apalah yang dapat diperbuatnya, meskipun jelas-jelas Putusan PT Kupang memerintahkan agar barang miliknya dikembalikan, ternyata tidak juga didapat. Aparat penegak hukum dalam kasus ini, Polisi, Advokat, Jaksa, serta oknum TNI masih mencerminkan watak buruknya yang melukai perasaan masyarakat. 

Sangat besar kemungkinannya di daerah-daerah pelosok negeri Indonesia banyak Yakobus-Yakobus lain yang menjadi korban kesewenang-wenangan aparat. Karena tentunya aparat di daerah sangat minim kontrolnya. Bagaimana tidak, JJ Rizal, korban salah tangkap mengalami kejadiannya di Depok, kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta. Prita Mulyasari yang mengeluh melalui email mengalami kejadiannya di Tangerang yang juga berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta. Silahkan bayangkan sendiri jika JJ Rizal dan Prita mengalaminya di tempat serupa dengan Yakobus. 

Lebih dari sebulan sudah Yakobus tinggal indekost di Jalan Kramat, Jakarta, meninggalkan keenam anak dan istrinya tercinta. Memaksakan diri ke Jakarta dengan modal seadanya serta sumbangan beberapa rekan di tempat asalnya, dia sangat ingin bertemu Jaksa Agung atau bahkan Presiden untuk meminta kembali hak-haknya yang bisa dibilang sekarang adalah harta satu-satunya serta agar dipulihkan kembali kedudukan dan harkat serta martabatnya. 

Masih dengan pakaian yang sama ketika dia datang ke lt. 3 Diponegoro 74, kemeja lengan panjang bergaris, celana hitam dan sepatu coklat yang semuanya terlihat lusuh melekat di badannya. Kali ini dia membawa beberapa lembar berkas yang sebelumnya tertinggal, serta mengeluhkan kembali tentang kasusnya dengan sesekali mengusap matanya menahan tangis.

Bagi lelaki yang tidak pernah mengenyam pendidikan ini, Natal tahun 2009 merupakan Natal yang paling tidak berkesan, karena akan ia lewati tanpa tawa ceria anak, senyum manis istri dan keindahan kampung halamannya. 

Andi Muttaqien
Badan Pengurus YLBHI


Rabu, 04 November 2009

YLBHI serahkan Naskah Akademik dan RUU Bantuan Hukum kepada Baleg DPR-RI

Rabu, 4 November 2009 rombongan YLBHI yang dipimpin langsung oleh Patra M. Zen menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum di Badan Legislasi DPR RI. Pada awalnya kami berempat, yaitu: Patra Zen, Tabrani Abby, Zainal Abidin dan saya sendiri, namun kami juga mengajakk LBH Jakarta dengan Koalisi Revisi KUHAP.

Rapat yang seharusnya dimulai pukul 09.00 WIB itu akhrinya dibuka pukul 09.40 WIB oleh Pimpinan Baleg, Ignatius Mulyono (F-PD). Tidak banyak anggota Baleg yang hadir dikarenakan bentrok dengan pertemuan di KPK. Selain YLBHI, hadir juga dalam RDPU dari Kongres Advokat Indonesia (KAI), Indonesia Parliament Center, Masyarakat Hukum Indoesia, dan CETRO.

Dalam kesempatan ini, Yayasan LBH Indonesia menyerahkan RUU Bantuan Hukum beserta Naskah Akademiknya kepada Ignatius Mulyono secara langsung agar dapat diusulkan masuk dalam Prolegnas 2010. Hampir seluruh anggota Baleg yang hadir mengapresiasi usulan dari YLBHI, karena ini merupakan kebutuhan masyarakat dan pembelaan terhadap orang lemah. Anggota Baleg yang mengapresiasi diantaranya: Surrahman Hidayat (F-PKS), Ibnu Multazam (F-PKB), Rahadi Zakaria (F-PDIP), Muh. Nasir, Rindoko (F-Gerindra), serta Rusli Ridwan (F-PAN).

Semoga apresiasi anggota Baleg dapat terwujud dengan dimasukkannya RUU Bantuan Hukum ini dalam Prolegnas 2010 serta disahkan menjadi UU, bukan sekedar manis janji saja.

Untuk melihat berita, silahkan klik primaironline.com

Kamis, 15 Oktober 2009

Persidangan ke-V Pengujian UU Pornografi

Ini merupakan review singkat Pengujian UU Pornografi hari Kamis, 8 Oktober 2009. Agenda sidang kali itu adalah Mendengarkan Keterangan Pihak Terkait (Kowani, MUI, Dewan Kesenian Jakarta). Saksi/Ahli dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait (Komnas Perempuan)

Kami, Kuasa Hukum Para Pemohon perkara no 17/PUU-VII/2009 menghadirkan Ahli, yaitu:Enny Soeprapto, Ph.d (Ahli Hukum HAM Internasional), dan Prof. Bernard Arief Sidharta (Guru Besar Filsafat Hukum Univ. Katholik Parahyangan). Sedangkan Para Pemohon perkara no 10/PUU-VII/2009 yang dikomando LBH APIK menghadirkan Ahli:Thamrin Amal Tomagola, Prof. Irwanto (Ahli Psikologi Anak dan Pornografi Anak), serta Dr. Kristipurwandari (Psikologi korban Kekerasan terhadap Perempuan)


Pokok-pokok Keterangan dari Pihak Terkait (MUI dan KOWANI)

Pihak Terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan tanggapan atas kesaksian Pemohon pada sidang sebelumnya. Sejak awal perumusan RUU Pornografi dan Pornoaksi, MUI ikut serta mengusungnya demi menyelamatkan moral bangsa Indonesia. Menurut MUI, di Negara-negara Liberal seperti Amerika pun memiliki UU Pornografi, yakni UU tentang Children Sexual Exploitation Crime.

UU Pornografi yang ada sekarang dinilai kurang mengakomodir usulan-usulan yang pernah mereka ajukan sebelumnya. Namun, hal ini jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. UU Pornografi melindungi seluruh masyarakat, karena itu MUI memohon agar permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.

Kedudukan Hukum Para Pemohon pun dipermasalahkan oleh Pihak Terkait MUI. Menurutnya, Para Pemohon perkara 17/PUU-VII/2009 tidak jelas kerugian konstitusional yang dialaminya. Terlebih Para Pemohon dari Lembaga-lembaga (LSM) karena tidak menjelaskan hubungan sebab akibat dengan adanya UU Pornografi tersebut.

Terkait dengan banyaknya penafsiran dari Definisi Pornografi yang tertera pada Pasal 1 ayat 1 UU no. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, MUI juga meminta agar MK memberikan tafsirnya terhadap pasal tersebut, agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan.

Sementara itu, Pihak Terkait Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang menyampaikan tanggapannya, menyatakan bahwa Permohonan Para Pemohon kurang tepat karena dianggap tidak bisa menjelaskan kerugian konstitusional apa yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya undang-undang a quo.


Pokok-Pokok Keterangan Ahli Dari Pemerintah

Dr. Andre Mayza (neuroscientist), menerangkan bahwa pornografi dapat mengakibatkan adiksi (ketagihan) yang tidak disebabkan karena kebutuhan, dan hal ini mengakibatkan kerusakan otak secara kimiawi.

Pery Umar Farouk (surveyor internet), mengemukakan bahwa selama lima tahun terakhir ini perilaku pornografi mengalami peningkatan. Tahun 2007 Indonesia berada di peringkat lima pengakses pornografi terbanyak. Tahun 2008 Indonesia naik di peringkat tiga. Bahkan, video porno mini yang banyak beredar saat ini banyak diakses oleh kalangan mahasiswa dan pelajar. UU Pornografi dapat menjadi kesadaran virtual bahwa pornografi adalah masalah serius.

Elly Risman (Psikolog – Yayasan Buah Hati dan Kita) menerangkan cuplikan-cuplikan video dan permainan-permainan di internet yang mudah diakses oleh anak-anak yang sifat dari permainan tersebut sangat Porno. Hasil survey Komnas Perlindungan Anak terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia. Di sini kita lihat bahwa ternyata 97% pernah menonton film porno, 93,7% pernah ciuman, petting, dan oral seks, 62,7% satu dari dua anak lebih remaja SMP dan SMU tidak perawan lagi, dan 21,2% remaja SMP dan SMU pernah aborsi.

Dr. Mudzakir (Ahli Pidana UII) coba membandingkan ketentuan pornografi dengan negara lain, ketentuan ini kami kaji dengan Prof. Barda Nawawi Arief dalam rangka untuk menguji seberapa norma pornografi yang ada dimuat di dalam kita ini seimbang atau sejajar atau ada perbandingan dengan negara-negara lain, yaitu Brunei Darussalam, China, Norwegia, Vanuatu, Korea, Rumania.

UU Pornografi tidak akan melanggar Kebhinnekaan Indonesia karena Pasal 3 huruf B, “menghormati, melindungi, melestarikan nilai seni dan budaya adat istiadat ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk”, telah menetralisirnya. UU Pornografi ini tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi sudah ada proses panjang sebelumnya dan Dr. Mudzakir adalah salah satu yang terlibat.

Menurutnya Pasal 1 angka 1 bukan memuat norma, sehingga pengujian terhadap Pasal 1 angka 1 secara berdiri sendiri tidak bisa karena tidak ada orang di dalam hukum pidana itu karena melanggar Pasal 1 angka 1 dimasukkan ke penjara, sehingga dengan demikian rumusan Pasal 1 belum menjadi norma hukum pidana.


Pokok-Pokok Keterangan Ahli Dari Para Pemohon

Enny Soeprapto (Ahli Hukum dan HAM) mengatakan bahwa meskipun mencantumkan kebhinekaan atau kemajemukan masyarakat Indonesia sebagai salah satu asas dan salah satu tujuannya, ketentuan-ketentuan operatif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 (biasa disebut batang tubuh) justru mengabaikan kebhinekaan atau kemajemukan bangsa Indonesia. Kedua, pengabaian kebhinekaan atau kemajemukan bangsa Indonesia oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, diabaikannya kondisi masyarakat yang bhinneka dan terdapatnya sejumlah istilah yang dapat ditafsirkan secara beragam dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan berakibat terjadinya ketidakpastian hukum. Selain itu tindakan pelarangan, pembatasan dan pencegahan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 akan menimbulkan pelanggaran sejumlah hak asasi dan kebebasan fundamental yang diakui dan dijamin perlindungannya oleh UUD 1945, UU No 39 tentang HAM, Duham tahun 1948, Kovenan Ekosob tahun 1966 dan Kovenan Internasional tentang hak Sipol.

Prof. Arief Sidharta (Ahli Filsafat Hukum). Undang-Undang Pornografi ini mengatur bidang moral positif yang nampaknya masih sedemikian beragam, jadi yang belum mencapai kristalisasi yang diperlukan untuk dapat dipaksakan secara publik dengan sanksi hukum berarti sudah menjadi semacam institutional surrender yang dapat menciptakan suasana legal moralism yang membuka peluang untuk memaksakan keyakinan moral sekelompok orang tertentu kepada semua warga masyarakat yang berbeda pandangan dan keyakinan moralitasnya, ini hukum yang sok moralis. Selain itu juga nampaknya sebagian besar memang keberadaan UU Pornografi itu sudah agak berlebihan, mengingat hal-hal yang berkaitan dengan moralitas masyarakat seperti moralitas pornografi itu memang sudah mungkin sudah memberikan pengaturan hukum dengan ancaman sanksi hukumnya.

Selanjutnya berturut-turut Ahli dari Pemohon perkara nomor 10/PUU-VII/2009, yaitu Thamrin Amal mengatakan bahwa jika UU ini dipakai sama saja dengan memakai KUHP karena ancaman pidananya pun hampir sama dengan KUHP. Kemudian Prof Irwanto dan Kristipurwandari. Serta terakhir Ahli dari Pihak Terkait KOMNAS PEREMPUAN, yaitu Saparinah Sadli.


Sidang Terakhir

Dewan Kesenian Jakarta (sebagai pihak terkait) yang pada awalnya akan memberikan pendapatnya terhadap Pengujian UU Pornografi ini batal hadir dan tidak ada kesempatan berikutnya karena sidang kali ini merupakan sidang terakhir. Ketua MK juga mempersilahkan Ahli yang belum dihadirkan Para Pemohon dalam sidang dapat memberikan Keterangannya secara tertulis yang diserahkan bersamaan dengan Kesimpulan dari masing-masing Para Pemohon, waktunya dua minggu dari hari sidang.

selangkapnya, silahkan unduh risalah

Jumat, 04 September 2009

Hubungan Antara Warga Negara Hanya Boleh Diukur Dari Satu Ayat, yaitu Ayat Konstitusi

Keterangan Rocky Gerung Pada Sidang Pengujian UU Pornografi


Selamat sore, terima kasih Majelis yang mulia. Saya Rocky Gerung, saya mengajar Filsafat Hukum dan Feminist Legal Theory di Universitas Indonesia. Tadi saya memperhatikan dengan cara yang sangat seksama dan dalam tempo yang agak panjang uraian dari ahli yang lain dan saya sebetulnya mengambil kesimpulan yang saya kira sangat logis bahwa para ahli tadi sebetulnya mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan pembelaannya, yaitu setuju bahwa undang-undang ini tidak sempurna, begitu. Dan karena itu seharusnya ditarik atau dibatalkan. Soal isi argumentasinya adalah soal yang kedua, tetapi nuansa itu adalah nuansa untuk menarik undang-undang itu. Nah, supaya undang-undang itu bisa ditarik secara final, maka saya mau lengkapi saja argumennya.

Saya mengamati proses perdebatan undang-undang ini selama 700 hari terakhir ini, dan kesimpulan saya adalah bahwa ada semacam paradigma yang diedarkan sengaja atau tidak sengaja ke dalam masyarakat, yaitu bahwa adil, hanya disebut adil bila dilandaskan pada argumentasi moral. Dan saya kira suasana ini yang kemudian menjajah pikiran publik dan menyebabkan gelombang yang nyaris atau di beberapa tempat bahkan menjadi kekerasan.

Isi undang-undang ini sebetulnya dalam pandangan professional saya adalah undang-undang yang anti pada tubuh manusia. Undang-undang yang benci pada ketubuhan, ketubuhan manusia, juncto ketubuhan perempuan. Jadi, ada gejala di dalam masyarakat kita yang menganggap bahwa moralitas hanya dimiliki oleh laki-laki. Dan oleh karena itu, moralitas perempuan harus diatur oleh fasilitas di dalam peradaban yang disebut hukum. Jadi bagian ini saya kira yang diam-diam diselundupkan ke dalam wacana public dan kita seolah-olah tidak ingin masuk di dalam perdebatan itu. Contoh misalnya, seandainya dasar moralitas itu ditopangkan pada satu kondisi final yang disebut agama, maka tidak mungkin saya mengajukan dalil untuk membantah preposisi-preposisi logis atau preposisi hukum yang didasarkan pada dalil agama itu. Dalil agama adalah final, sementara kalau kita ingin menguji suatu jalan pikiran publik, kita musti anggap bahwa dalil itu tidak final. Jadi kalau argumen yang diedarkan di ruangan ini adalah argumen agama, tentu tidak ada perdebatan karena ukurannya adalah nanti setelah akhirat tiba, kecuali kita mampu mempercepat akhirat itu. Jadi ini adalah hal yang saya kira sebaiknya kita ucapkan demi bangsa ini agar supaya terbuka problematik yang sesungguhnya agar jangan ada dusta di antara kita.

Dalam rangka itu saya ingin menerangkan suatu soal itu, bahwa kalau misalnya seluruh keterangan yang diajukan oleh para Ahli tadi kita terima, maka itu berarti Undang-Undang Pornografi minus problem anak, minus problem internet, minus problem apa lagi tadi, minus problem kekerasan itu sudah diatur di dalam undang-undang yang lain. Itu berarti sisanya, kalau Undang-Undang Pornografi minus dikurangi seluruh argumen dari ahli tadi, sisanya adalah soal perempuan, sebetulnya. Justru itu yang tidak ingin diucapkan. Seolah-olah, moral mayoritas, dalam hal ini diam-diam adalah moral agama itu dijadikan ukuran final dari perdebatan publik. Kita tahu, yang disebut mayoritas itu bukan soal agama di dalam kehidupan warga negara. Negeri ini bukan negeri agamis, mayoritas profesi kita adalah petani. Karena itu negeri ini adalah negeri agraris, bukan negeri agamis. Jadi kita musti menghindari kebiasaan untuk memakai satu kategori sebagai satu-satunya ukuran di dalam upaya untuk menyusun kebijakan publik.

Nah, inilah keadaan yang sebetulnya diwariskan, bukan sekedar oleh rezim hukum sekarang ini, tapi berlaku jauh di belakang peradaban dari 25 abad yang lalu. Nah, inilah sebetulnya yang ingin diucapkan oleh mereka terutama oleh kelompok perempuan yang menganggap bahwa ada ketidakadilan yang dilegalisir, kemudian diinstalasikan di dalam sistem hukum positif kita.

Problem ini bukan problem khas Indonesia tapi problem seluruh dunia di mana orang berupaya untuk membongkar ulang mitologi, segala macam pikiran yang menganggap bahwa tubuh perempuan adalah lokasi hukum, lokasi politik, dan karena itu dia menjadi laboratorium tempat para patriarkis laki-laki melakukan uji coba moral. Ini soal yang amat berbahaya dalam upaya kita mengembangkan sebuah Indonesia yang majemuk.

Saya katakan tadi bahwa ini soal yang telah berabad-abad jadi problem. Saya beri contoh cepat-cepat misalnya, mitologi tentang seorang perempuan. Tentu kita tahu ada perempuan yang namanya Medusa yang sekarang jadi simbol, branded dari asesoris buat kaum perempuan, Medusa, rambutnya ular. Medusa ini di dalam mitologi diceritakan bahwa suatu waktu ada seorang perempuan, cantik, pintar, lagi belajar tentang konstitusi, duduk-duduk di pantai Kuta, anggap saja di Yunani ada pantai namanya Pantai Kuta dengan pakaian Pantai Kutea karena dia membaca sambil menikmati alam. Tiba-tiba ada gelombang datang di depan dia, dia pikir ada Tsunami, ternyata tidak. Ternyata gelombang itu menghantarkan seorang laki-laki yang dikenal sebagai dewa laut, Poseidon. Poseidon tiba di pinggir pantai itu dan melihat keadaan Medusa, dia memperkosa Medusa. Medusa datang ke Komnas Perempuan Athena, dia melapor bahwa dia diperkosa atau bukan Komnas Perempuan, Menteri Urusan Perempuan Athena-lah misalnya, menterinya bilang, Andalah yang bersalah karena Anda separuh telanjang di pinggir Pantai Kuta Yunani itu. Oleh karena itu Anda harus dihukum. Maka Medusa itu dihukum yaitu dia dikutuk mukanya yang cantik akan berubah menjadi monster. Rambutnya yang ikal yang direbonding setiap hari berubah menjadi kumpulan ular. Itulah hukuman pada perempuan, dan hukuman itu diatur di dalam hukum Athena.

Kita tahu bahwa bukan cuma itu hukuman pada Medusa. Semua laki-laki Athena yang bertatapan dengan Medusa akan berubah menjadi batu karena dari sorot mata Medusa yang tadinya bening, keluar api. Jadi semua laki-laki di Athena itu kabur itu kalau Medusa lagi mau ke mall itu. Nah, ini suatu keadaan, karena itu kemudan dia dihukum lagi bahwa dia harus dibunuh karena dia menyebarkan teror pada public yang punya moralitas patriarkis di Athena. Hukumannya adalah dia harus dihilangkan nyawanya. Dan seluruh preman berjubah di Athena dihadirkan untuk mengejar Medusa. Tidak ada yang berhasil, karena setiap kali laki-laki yang mendekat tubuhnya, ditatap oleh sorot mata Medusa berubah jadi arang. Lalu dicari akal, bagaimana caranya untuk melumpuhkan Medusa. Diintiplah kamar tidur Medusa. Ternyata, setiap malam sebelum Medusa tidur, dia copot bola matanya dan dia simpan di sebuah tempayan kecil. Hanya dengan cara itu dia bisa tidur sebab kalau nggak matanya akan terus menerus menyala, tidak bisa tidur dia.

Nah, waktu mereka tahu rahasia itu, diutuslah pahlawan perang Athena yang terkenal, siapa namanya, Persious untuk memenggal kepala Medusa dalam keadaan Medusa tidur. Jadi, bayangkan ketidakadilan. Laki-laki yang menganggap diri sebagai jagoan harus menunggu Medusa tidur, baru dia berani memenggal kepala Medusa. Dan cerita itu berakhir bahwa setelah kepala Medusa dipenggal, dari genangan darahnya, muncul terbang sesosok makhluk yang kemudian tercium wangi, makin lama, makhluk itu makin jelas, kita tahu dia sebagai kuda terbang yang namanya Pegasus. Dan Pegasus itu yang menjadi sumber inspirasi guru sastrawan dan budayawan dunia. Jadi moral dari cerita ini mau mengatakan bahwa problem penindasan perempuan dengan asumsi paradigma patriarki sudah berlangsung sangat lama. Jadi upaya kita untuk merevisi undang-undang itu adalah upaya untuk memperbaiki peradaban sebetulnya, upaya untuk meninjau kembali semua perlengakapan peradaban instalasi politik dan hukum yang dipakai untuk meneggelamkan identitas perempuan.

Semua contoh yang ada di sini tadi dari Ibu Inke Maris atau cerita yang diucapkan oleh Pak Tjipta Lesmana itu adalah cerita tentang subyek perempuan. Jadi dari pilihan gambar sudah jelas bahwa yang dajukan sebagai kasus adalah perempuan. Kita tidak melihat argumen di situ untuk mengatakan bahwa kenapa you pilih perempuan untuk diajukan di situ? Jadi ini hal yang saya kira sangat serius sebab upaya untuk me-review undang-undang itu bukan sekedar me-review pasal-pasalnya tetapi mereview cara kita memahami subyeknya yang namanya perempuan. Yang kita tahu di dalam ilmu hukum terus menerus dikatakan bahwa yang disebut subyek adalah sebetulnya pria dewasa, heteroseks, berkulit putih. Bias itu yang masih kita idap sebetulnya. Kita ingin sewaktu-waktu mengucapkan bahwa person in law adalah juga perempuan juga laki-laki itu.

Nah, Majelis Hakim yang terhormat.

Kalau kita masuk pada materinya, mengukur birahi seseorang itu, saya mesti membawa alat untuk mengetahui berapa persen dopalmin saya itu naik, kadar dopalmin, sama seperti mengukur alkohol begitu. Berapa persen dia naik sehingga kita bisa katakan you saya tangkap karena kecanduan keracunan alkohol. Ini sama juga itu, birahinya diukur dengan cara apa? Kalau saya, saya pergi dengan teman saya Pak Tjipta, kalau dia terangsang pada Sarah Azhari di layar tadi mungkin saya lebih terangsang pada seorang perempuan yang imajinasinya liar, digambarkan sekedar sebagai karikatur di situ, tetapi saya tahu pikirannya itu, pikirannya itu membuat saya birahi itu. Jadi variasi, threshold kebirahian orang itu beda-beda. Nah, ini soal makin lama makin jadi perkara karena kita tidak bisa menggeneralisir tingkat kedewasaan orang untuk menerima atau menikmati pornografi.

Jelas bahwa di dalam kondisi kedewasaan, moral orang dewasa adalah otonom, pornografi boleh dikonsumsi karena transaksi di antara dua warga negara yang otonom. Anak bukan subyek moral yang otonom, karena itu dia dilarang. Tetapi pada orang dewasa hak itu tidak boleh dilarang, boleh diatur tetapi tidak dilarang. Nah, moral inilah yang mestinya dijadikan ukuran moral publik, itu transaksi di antara warga negara yang bertanggung jawab. Diskriminasi terjadi kalau dibuat perbedaan ada warga negara yang bermoral atau berdasarkan ayat agama ada warga negara yang tidak bermoral berdasarkan ayat agama. Bagi saya hubungan di antara warga negara hanya boleh diukur dari satu ayat namanya ayat konstitusi bukan ayat suci. Itu yang kita sebut sebagai kegiatan kehidupan publik.

Jadi Majelis Hakim dan Pihak Pemerintah, saya sebetulnya ingin agar supaya ada pikiran alternatif untuk kita edarkan kepada public bahwa Indonesia sedang bergerak di dalam upaya untuk memastikan kemajemukan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus berlanjut, Undang-Undang Pornografi tidak boleh dilanjutkan. Terima kasih.

Minggu, 30 Agustus 2009

Resume Sidang Pengujian UU Pornografi

Walaupun terlambat, saya tetap berusaha memberi resume persidangan Pengujian UU Pornografi yang dilaksanakan Kamis, 27 Agustus 2009 dengan agenda: Mendengarkan Keterangan Ahli dan saksi dari Pemohon dan Pemerintah, serta Pihak Terkait yang terdiri dari Kowani, MUI dan Komnas Perlindungan Anak.

Sidang Pengujian UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang diajukan 3 pihak Pemohon teregistrasi dengan No. 10/PUU-VII/2009 (masyarakat Sulut), 17/PUU-VII/2009 (dipimpin YLBHI) saya ikut dalam tim ini, dan 23/PUU-VII/2009 (dipimpin LBH APIK) dimulai pukul 10.00 WIB. Para Pemohon Perkara No 17/PUU-VII/2009 menghadirkan Rocky Gerung sebagai Ahli Filsafat, sedangkan Para Pemohon Perkara Nomor 23/PUU-VII/2009 menghadirkan Achie S Luhulima sebagai Ahli Feminisme.

Sedangkan Pemerintah menghadirkan Ahli sebagai berikut: Ade Armando (media massa), KRMT Roy Suryo (teknologi informasi), Inke Maris (komunikasi), Taufik Ismail (budayawan), Elly Risman (psikolog), Andre Mayza (neuroscientis), Tjipta Lesmana (komunikasi massa), dan Fery Umar Farouk (surveyor internet), Sumartono (Seni), serta Muzakkir (Ahli Hukum Pidana)

Kemudian sebagai pihak tekait hadir: MUI diwakili kuasa hukumnya Moh. Assegaf, M. Luthfi, dan Wirawan Adnan; pihak Kowani yang hadir adalah Ketua dan Ka. Bidang Hukum dan HAM Kowani; dari pihak Komnas Perlindungan Anak yang hadir adalah Seto Mulyadi dan seorang staff-nya.

Ahli pertama yang menyampaikan keterangannya adalah Achie Luhulima yang menerangkan bahwasanya dengan adanya UU Pornografi tersebut justru makin membuat

Kemudian setelah Achie Luhulima memberikan keterangan, dua orang penari Tumatenden yang dihadirkan Pemohon Perkara 10/PUU-VII/2009 untuk memperkuat argument dari Ahli mereka sebelumnya. Tarian ini menggunakan pakaian yang cukup terbuka dan rok panjang dengan belahan tinggi. Tarian ini merupakan kesenian Sulut, dan mereka mengatakan bahwa masih ada tarian yang menggunakan pakaian lebih terbuka lagi, dan itu akan terancam dengan adanya UU Pornografi.

Selanjutnya Ahli dari Pemerintah, Tjipta Lesmana mengatakan bahwasanya agar UU tersebut direvisi, karena memang banyak kelemahannya, diantaranya adalah tidak adanya pengecualian terhadap Seni, budaya, olahraga, ilmu pengetahuandan sastra. Justru pengecualian tersebut ditaruh pada pasal penjelasan. Begitu juga dengan definisi yang ada (Pasal yang diuji Pemohon) unsur penting (kesengajaan dan membangkitkan birahi) yang harus ada dalam definisi Pornografi justru kurang dalam Pasal tersebut.

Dia juga mengatakan, sebagian wanita di Papua yang tidak memakai baju adalah budaya yang tidak bisa disentuh dengan UU Pornografi, begitu juga Bali, dan daerah lain tidak perlu takut dengan adanya UU Pornografi. Tjipta Lesmana juga sudah lama menulis tentang bahaya Pornografi, dia juga ikut mengawasi perjalanan penyusunan RUU Pornografi.

Inke Maris (Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) memberikan keterangannya tentang bahaya Pornografi terhadap anak-anak dengan segala macam gambar yang ditampilkan pada Power Point-nya. Tidak ada satupun bantahan terhadap dali-dalil dari Para Pemohon. Hal2 yang diterangkan memang jelas mana yang dianggap Pornografi dan mana yang dianggap seni. Dia juga mengatakan UU Pornografi diperlukan karena peraturan dalam KUHP sangat minim hukumannya. Inke Maris juga banyak memutar potongan-potongan film yang mempertontonkan pornografi bahkan itu diputar di ANTV.

Sumartono, pakar seni yang diajukan oleh pemerintah setuju dengan pendapat Tjipta Lesmana bahwasanya harus ada pengecualian terhadap lima hal tersebut. "Perumusan definisi pornografi yang dapat diterima semua orang bisa dibuat seiring berjalannya waktu," Sumartono mengatakan.


Persidangan setelah istirahat
Rocky Gerung memberikan keterangannya bahwa ketidakpastian pengaturan dalam UU Pornografi akan mengakibatkan kerugian pada perempuan, karena kita masih dalam masyarakat Patriarkis. Dia juga mengatakan bahwa ukuran/dalil moral agama tidak dapat dijadikan landasan atas pembuatan UU, karena hal itu tidak dapat dikontestasikan dalam kehidupan Negara, makanya yang harus dijadikan landasan adalah ayat Konstitusi.

Ade Armando (ahli dari pemerintah) mengatakan bahwa dengan adanya UU Pornografi ini justru majalah Playboy, FHM dsb dapat beredar luas karena masih memberi kelonggaran terhadap hal-hal semacam itu

Roy Suryo (ahli dari pemerintah) memberikan data statistic bahwasanya bahaya Pornografi merupakan kejahatan internet nomor dua di Indonesia.

Taufik Ismail (ahli dari pemerintah) membacakan puisinya tentang “Hilangnya Rasa Malu” yang merupakan terusan dari puisinya yang berjudul Gerakan Syahwat Merdeka.

Mendengar keterangan ahli, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menggarisbawahi mengenai fungsi hukum. “Hukum tidak hanya menertibkan masyarakat, tetapi juga penguasa yang sewenang-wenang.” Sementara Hakim Muhammad Alim, merujuk pada Teori Hans Kelsen, menegaskan berlakunya empat lingkungan dalam hukum, yakni orang, tempat, waktu, dan masalah.

Hakim konstitusi Maria Farida sependapat bahwa UU Pornografi ini multitafsir sehingga menimbulkan kerancuan. "Muatan UU ini membuka kemungkinan bagi orang untuk menafsirkan sendiri-sendiri," kata Maria. Maria Farida juga bertanya pada Pemohon. “Kalau dikatakan Pasal 1 angka 1 bermasalah, apakah menurut anda dengan adanya muatan peraturan ini sudah ada pengurangan pornografi?” tanyanya pada para ahli. Hakim Ahmad Sodiki juga mengingatkan pandangan tentang pluralisme dan pandangan yang menggeneralisasikan keseragaman di seluruh Indonesia.

Para Pemohon mengatakan bahwasanya tidak ada perbedaan tentang bahaya dari Pornografi. Para Pemohon pun menentang Pornografi. Bahwasanya sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesusilaan di dalam KUHP, UU Penyiaran, UU Perlindungan Anak dsb. Justru permasalahannya adalah penegakkan hukum masih minim. Hal ini tidak serta merta menjadi dasar dibuatnya UU Pornografi. Sebagai perbandingan di Amerika butuh riset 15 tahun untuk membuat rumusan UU Pornografi, sedangkan di Indonesia hanya butuh 5 tahun dengan keberagaman budayanya, ini aneh.

Untuk selengkapnya silahkan unduh risalah.


Rabu, 15 Juli 2009

Keluarga David minta dukungan YLBHI

15 Juli 2009|18:13|Peradilan
Primair Online
Andi Muttaqien (Kontributor)

Jakarta - Keluarga David Hartanto Widjaja, mahasiswa Indonesia yang meninggal di Singapura, meminta dukungan Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) terkait dugaan timpangnya proses peradilan perkara itu di persidangan koroner, Singapura.

Kusuma Widjaja, paman David, mengatakan salah satu bukti ketimpangan tersebut adalah ketika Kepolisian Singapura selalu mengingkari janjinya tentang pengembalian laptop milik David. "Dubes Indonesia pun tidak bisa berbuat apa-apa," kata Kusuma di Gedung YLBHI, Jakarta, Rabu (15/7).

Sebelum persidangan, kata Kusuma, polisi menjanjikan akan memberikan laptop David seminggu sebelum sidang, namun ketika diminta oleh keluarga David, polisi malah mengatakan tidak pernah menjanjikan apapun tentang laptop. "Hanya akan dikembalikan seminggu setelah sidang," katanya.

Persidangan koroner memasuki agenda keterangan dari pengacara (submission). Pada 29 Juli 2009 akan diputuskan apakah David dibunuh atau bunuh diri.

Menurut Kusuma, dari hasil otopsi yang dilakukan kedokteran Singapura dan yang telah diterjemahkan dokter Indonesia, terdapat 36 luka akibat benda tumpul dan benda tajam. "Hal ini sangat tidak masuk akal kalau dikatakan David itu bunuh diri,” katanya.

Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen mengatakan YLBHI minta agar dipertemukan dengan tiga pihak terlebih dahulu, yakni keluarga David, YLBHI dan OC Kaligis, selaku pengacara. "Untuk menentukan langkah selanjutnya setelah putusan tanggal 29 Juli 2009," kata Patra.

(aka)

Kamis, 25 Juni 2009

Keseriusan Polisi Mengimplementasikan Prinsip dan Standar HAM Dalam Tugasnya

Merupakan sebuah niat baik bagi institusi kepolisian dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia, tidak banyak yang tahu bahwa pada tanggal 22 Juni 2009 telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAP).

Pada hari Kamis, 25 Juni 2009 Kepolisian mengadakan seminar berjudul sama dengan PERKAP tersebut. Hadir pembicara pada sesi I: Irjen. Pol. Aryanto Sutadi, MH., MSC (Kadivbinkum Polri), A. Pandupraja, SH., LL.M (Sekretaris Kompolnas), Prof Harkristusi Harkrisnowo, SH., MA., Ph.D (Dirjen Bid Hukum Dan HAM – Depkumham), dan Nursyahbani Katjasungkana, SH. (DPR-RI). Kemudian pada sesi II: Ifdhal Kasim, SH. (Ketua KOMNAS HAM), Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH., LL.M. (Advokat), Asfinawati, SH. (LBH Jakarta) dan salah seorang Akademisi.

PERKAP ini menurut Kadivbinkum Polri merupakan upaya Polri dalam melaksanakan penerapan HAM yang akan di-declare pada 1 Juli sebagai hari Bhayangkara. PERKAP ini juga bukan tanggapan terhadaop laporan penelitian Amnesty Internasional “Unfinished Bussines Police Accountability In Indonesia” yang baru saja dirilis. Selain itu, PERKAP ini juga sengaja disebar kepada masyarakat agar menjadi tantangan bagi aparat.

Melihat keseluruhan isi PERKAP, terlihat bahwa sudah cukup banyak prinsip dan standar hak asasi manusia yang dimasukkan yang merujuk pada instrumen hak asasi manusia internasional.
Konsepsi ideal ini menunjukkan keseriusan kepolisian dalam menerapkan nilai-nilai hak asasi manusia.

Berbagai ketentuan dalam PERKAP misalnya tentang perilaku petugas penegak hukum, tindakan penangkapan dan penahanan, tindakan investigasi, perlindungan korban dan saksi, penggunaan kekerasan dan senjata api dan sebagainya mempunyai konsekuensi yang besar. Konsekuensi tersebut adalah sejauh mana kesiapan aparat kepolisian dan infrastruktur di kepolisian untuk mendukung implementasi PERKAP ini secara efektif.


Sebagai contoh misalnya dalam pasal 23 tentang tindakan penahanan yang harus senantiasa memperhatikan prinsip dan standar internasional HAM. Dalam ketentuan tersebut hak-hak tahanan dilindungi misalnya dengan diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, berhak mendapatkan layanan medis yang memadai, tersangka ditempatkan difasilitas-fasilitas yang manusiawi, yang dirancang dengan memenuhi persyaratan kesehatan yang tersedia air, makanan, pakaian, pelayanan kesehatan, fasilitas untuk beroleh raga dan barang-barang untuk keperluan pribadinya.


Hak-hak orang yang ditahan sebagaimana disebutkan dalam PERKAP harus dimulai dengan sikap aparat kepolisian untuk senantiasa memperlakukan dengan hormat dan penuh martabat setiap tersangka atau orang yang ditahan. Perubahan sikap ini merupakan salah satu kendala yang dihadapi institusi kepolisian karena masih kita lihat perlakuan aparat kepolisian terhadap para tersangka, bahkan dijadikan obyek berita yang berlebihan di program-program televisi.


Kemudian soal hak tahanan untuk mendapatkan kondisi yang memadai juga merupakan hal yang perlu ditekankan, karena kondisi tempat-tempat penahanan di kepolisian atau rumah tahanan lain masih jauh dari kesiapan untuk mengimplementasikan apa yang disyaratkan dalam PERKAP.


Ketentuan dalam PERKAP yang sangat ideal ini pun harus dibarengi dengan usaha terus menerus dari institusi kepolisian untuk membina aparat kepolisian memahami hak asasi manusia menuju perilaku yang sesuai dengan prinsip dan standar hak asasi manusia. Upaya ini bisa merujuk pada ketentuan BAB VIII tentang Pembinaan dan Pengawasan.


Kepolisian juga harus membenahi sarana dan prasarana untuk dapat mengimplementasikan isi dan ketentuan dalam PERKAP karena aparat kepolisian akan mengalami kendala ketika harus mengimplementasikan isi PERKAP tetapi tidak ditunjang dengan dukungan sarana yang memadai.


Semoga hal ini menjadi langkah maju bagi
kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana disebut dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana dikatakan Asfinawati dalam seminar tersebut bahwa dalam keadaan damai justru Polisi-lah yang harus maju, bukan tentara.

Minggu, 07 Juni 2009

The Flowers “Gak Ada Matinya”

Menghajar penonton dengan “On n on”. Malam itu The Flowers naik panggung pukul 12.00, bahkan lebih kalau tidak salah. Gitarnya Boris emang crunchy banget kedengerannya, khas Rock n Roll. Lagu pertama ini emang langsung membuat manusia-manusia berdandan ala Punk yang hadir di Prost Beer House terkesima. Memang, sejak saya masuk tidak ada satu band pun yang membawakan irama Rock n Roll selain The Flowers, maklum saja acara tersebut merupakan reuniannya Young Offender.


Setahu saya, The Flowers sendiri awalnya tidak main di acara ini, tapi karena beberapa band seperti Superglad dan Seringai yang dijadwalkan main disana berhalangan. Mungkin hanya dia satu-satunya yang memainkan Rock n Roll pada malam itu. Lagu kedua makin membuat para penonton terkesima, “Tolong Bu Dokter”. Lagu yang membuat The Flowers mengokohkan dirinya sebagai band rock Indonesia papan atas. Lagu ini sangat populer pada tahun 97an, meskipun setelah itu mereka belum mengeluarkan album lagi.


Selain Boris dan Njet, The Flowers sekarang diperkuat oleh Leo M (Bass), Dado (Drum), Eugene (Additional Saxophone). Tambahan pada saxophone membuat The Flowers sangat manis didengar. Sebelum membawakan Tolong Bu Dokter, Njet sempat memperkenalkan sang peniup Sax, Eugene dan meminta penonton agar mengangkat tangannya ketika dia memainkan alat tiupnya tersebut.


Masih ingin memanaskan suasana malam itu, “Nggak Ada Matinya” langsung menghantam penonton. Spontan saja penonton menari diiringi dengan alunan manis dari Saxophone-nya Eugene dan kocokan gitarnya Boris. Kata-kata nakal dalam lirik lagu tersebut tidak absen diikuti para penonton. Di belakang drum Dado terus membuat gebukan-gebukan gantung yang bikin enak bergoyang dan ditandingi oleh betotan Bass dari Leo.


“Bayangan” dibawakan sebagai lagu penenang setelah penonton dihajar 3 lagu sebelumnya. Lirik lagu ini memang dapat menjadi pelarian bagi para penonton yang baru saja putus pacaran hehehe…, simak saja penggalan liriknya “…ku terbuai ku terlena nikmati rasa sepiku…..namun bayangan dirimu tak juga hilang dari ku….”. Penonton mengikuti kata-kata Njet dengan teratur luar biasa. Tapi sayang, sepertinya pada saat Boris nge-Lead sound gitarnya nggak keluar.


Penampilan The Flowers malam itu ditutup dengan lagu baru yang berjudul “Rajawali”. Lagu yang menceritakan tentang nikmatnya minum Rajawali (titipan produsen Rajawali kayaknya biar laku hehehe….), atau mungkin kelakuan para personelnya ketika masih muda (hingga sekarang). Intro lagu ini saja sudah bikin orang bergoyang, apalagi ketika bagian refrainnya, mantap abis.


Penampilan The Flowers malam itu membuat sedikit berwarna reuni Young Offender. Rencananya mereka akan mengeluarkan album pada Oktiber 2009, mudah-mudahan saja setelah keluar album, mereka tidak vakum lagi. Akhirnya setelah gagal menonton mereka pada April 2009 kemarin di tempat yang sama, saya dapat puas menonton mereka malam itu. Semoga kehadiran kembali The Flowers dalam kancah musik Indonesia akan mengobati kerinduan pencinta musik Rock di tengah dominasi band-band macam Kangen, ST 12, Hijau Daun dsb.


Long Live Rock n Roll……

(catatan konser The Flowers @ Prost Beer House, Kemang, 6 Juni 2009 dalam Reuni Young Offender)

Jumat, 05 Juni 2009

Pengabaian Rasa Keadilan Dalam Penetapan Gugatan CLS (Gugatan Hilangnya Hak Pilih)

Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit CLS) atas hilangnya hak untuk memilih dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah yang disidangkan di PN Jakarta Pusat (nomor register: 145/PDT.G/2009/PN.JKT/PST) dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim pada tanggal 3 Juni 2009. Gugatan ini diajukan oleh 10 warga Negara yang kehilangan Hak untuk memilih dalam Pemilu Legislatif dengan kuasa hukumnya dari YLBHI, PBHI, dan LBH APIK.


Dalam memutus perkara ini, Majelis Hakim jelas-jelas mengabaikan rasa keadilan warga Negara karena tidak mempertimbangkan hilangnya jutaan hak warga Negara untuk memilih. Hak untuk memilih merupakan hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh Negara terutama Pemerintah. Hak untuk memilih telah dijamin oleh UUD 1945 dan juga Undang-undang lainnya. Seharusnya Majelis Hakim mengutamakan reparasi hak untuk memilih yang telah hilang.


Kelalaian dari KPU dan Pemerintah telah mengakibatkan tahapan Pemilu sebagaimana disyaratkan Pasal 4 ayat (2) huruf h UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) bagi sekitar 4,5 juta warga Negara menjadi tidak terlaksana. Oleh karena itu, wajib bagi KPU untuk melaksanakan Pemilu susulan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 229 UU Pemilu: “Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu Susulan


Salah satu syarat dalam mekanisme CLS adalah notifikasi (pemberitahuan). Dalam praktek di negara-negara Common Law, notifikasi warga negara diberikan kepada Penguasa untuk melakukan suatu hal selama 60 hari batas waktunya. Dalam kasus Hilangnya Hak Memilih di Indonesia, hal tersebut tak mungkin diterapkan, karena dalam gugatan petitumnya adalah meinta Pemilu susulan. Majelis Hakim dalam penetapannya berpendapat bahwa notifikasi yang disampaikan Para Penggugat terhadap Para Tergugat terlalu sempit batas waktunya karena tidak sampai 60 hari sebagaimana dipraktekkan di negara-negara lain. Alasan Majelis Hakim tersebut sangat tidak masuk akal, karena jika hal tersebut (batas waktu 60 hari) diterapkan dalam kasus ini maka akan sangat sempit waktunya dengan Pemilihan Umum Presiden.


Notifikasi (pemberitahuan) yang kami sampaikan pada tanggal 14 April 2009 kepada Komisi Pemilihan Umum cq. Abdul Hafiz Anshary (Tergugat I) dan Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq. Susilo Bambang Yudhoyono (Tergugat II) telah disalah artikan oleh Majelis Hakim yang diketuai Sugeng Riono. Majelis Hakim menganggap bahwa Para Penggugat memberikan batas waktu 7 (tujuh) hari bagi Para Tergugat untuk menyelenggarakan Pemilu susulan. Padahal telah dinyatakan dalam notifikasi (pemberitahuan) tersebut bahwa dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut Para Tergugat diminta untuk “menerbitkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pelaksanaan Pemilu susulan”. Terhadap hal ini kami dapat juga mengatakan bahwa pendapat Majelis Hakim adalah premateur karena Majelis Hakim belum melihat notifikasi (pemberitahuan) yang kami sampaikan kepada Para Tergugat.


Semoga hal-hal yang substantif sifatnya dapat menjadi pertimbangan para Hakim dalam mengadili perkara apapun, bukan hanya melihat pada hal-hal prosedural.

Selasa, 26 Mei 2009

Selama KAI & Peradi Belum Damai, Tak Ada Pelantikan Advokat

08 Mei 2009 | 14:47 | Advokat
Khresna Guntarto
www.primaironline.com
Calon Advokat Berjubel (http://emirpohan.wordpress.com)

Jakarta - Mahkamah Agung menginstruksikan kepada seluruh ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia tidak mengambil sumpah pelantikan advokat sampai konflik antarorganisasi advokat reda.

Hal ini diberlakukan dengan keluarnya surat keputusan MA No 052/KMA/V/2009 perihal "Sikap MA Terhadap Organisasi Advokat," yang dikeluarkan pada tanggal 1 Mei. Surat ini sendiri muncul karena banyaknya pertanyaan dari Ketua Pengadilan Tinggi di beberapa daerah yang bertanya soal penyumpahan advokat.

"Mulai sekarang advokat yang diambil sumpahnya maka dianggap tidak sah," kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Nurhadi, saat membacakan surat itu di depan wartawan, di Jakarta, Jumat (8/5).

MA menganggap permasalahan yang terjadi pada organisasi advokat adalah masalah yang harus diselesaikan. Namun, lanjut Nurhadi, karena adanya perbedaan persepsi di antara advokat, menimbulkan ketidakpastian bagi pengadilan. "Sehingga mewajibkan MA memberikan petunjuk kepada jajarannya," kata Nurhadi.

Ia menambahkan keluarnya surat edaran MA ini juga atas masukan-masukan dari Mahkamah Konstitusi (MK), Menteri Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung dan ahli-ahli hukum senior. "Masukan-masukan itu bervariasi," kata dia.

MA mengakui, bahwa ada beberapa organisasi advokat yang sering mengadukan permasalahannya melalui surat kepada MA, yaitu Kongres Advokat Indonesia (KAI), Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). "Mereka semua menyatakan dirinya sebagai organisasi yang paling sah dan menganggap yang lain tidak sah," kata dia.

Atas dasar permasalahan ini MA meminta agar permasalahan antara organisasi advokat harus diselesaikan dahulu. "Selama belum selesai MA meminta ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung dalam perselisihan itu," kata dia.

Pasal 28 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan organisasi advokat harus dalam satu wadah. Meskipun UU tidak menjelaskan tata cara pembentukannya.

Meskipun demikian, tambah dia, seluruh advokat dari organisasi manapun yang telah diambil sumpahnya dinyatakan tetap sah sebelum adanya surat keputusan ini. (feb)

Setahun Kematian Maftuh Fauzi, Sang Pejuang


Andi Muttaqien

Hampir tepat setahun lalu, ratusan mahasiswa Universitas Nasional (UNAS), Jakarta, ditahan akibat aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM tanggal 23 Mei 2008.

Para orang tua mahasiswa pun datang silih berganti ke Mapolres Jakarta Selatan untuk menjenguk anaknya, meskipun beberapa di antaranya tidak diperbolehkan bertemu.

Masih teringat ketika seorang Bapak datang ke saya, menitipkan plastik berisi pakaian bersih dan sedikit makanan ringan. Sang Bapak berkata: ”Mas, titip untuk anak saya ya. Saya tidak tahu ruangannya dimana, namanya Maftuh Fauzi.”

Hampir tiap ruangan polisi di Lantai 3 saya masuki untuk mencari seorang anak yang bernama Maftuh Fauzi. Hingga sampailah saya pada sebuah ruangan yang cukup sempit dan berisi hampir dua puluh mahasiswa duduk di lantai, seorang teman bernama Sader tunjuk tangan (Saat itu saya baru tahu nama asli Sader adalah Maftuh).

”Bokap lu nitip plastik neh der....,” saya berkata sembari melemparkan plastik tersebut.

Sader pun kaget. ”Yaaahhh...” Sepertinya dia menyesal kalau orang tuanya tahu dia ditahan, takut membebani pikiran kedua orang tuanya.

Tak berapa lama keluar tahanan, Sader meninggal di RS Pusat Pertamina. Hanya 18 (delapan belas) hari sejak penangguhan penahannya dikabulkan Polres Jaksel, yaitu tanggal 2 Juni 2008.

Mendengar berita kematian Sader, air mata saya tak tertahan. Bukan, bukan hanya karena dia mahasiswa UNAS yang ikut menolak kenaikan harga BBM, lebih dari itu, sebagaimana mahasiswa UNAS yang lain, Sader adalah teman baik saya. Mulai dari nongkrong, bercanda, kata-kataan, sampai kesamaan selera musik.

Terakhir kenangan adalah ketika, saya, Sader, Gembol dan Donny menyaksikan secara langsung penampilan HELLOWEEN (band metal asal Jerman) di Senayan. Bahkan ketika masih ditahan, dia sempat bercanda: ”Jadi nggak neh nonton TRIVIUM?” Sungguh kenangan tak terlupakan. Buat saya. Sader adalah kawan yang sangat supel dan periang.

Wajahnya masih sangat segar dan tenang. Meskipun memiliki kulit yang gelap, wajahnya tetap memancarkan keteduhan bagi lawan bicaranya. Mengenakan baju koko warna hitam dengan songkok di kepalanya, Pak Haji Sadi datang menyempatkan diri melayat ke rumah Moch. Khadafi, seorang mahasiswa UNAS.

Ayah Khadafi meninggal pada tanggal 18 April 2009 pagi-pagi benar, hanya semalam setelah beliau sampai di Jakarta sehabis melaksanakan Umrah. Saat itu Pak Sadi tidak datang sendiri, ia juga mengajak istri dan putrinya. Ketika Pak Sadi beserta Istri dan anaknya datang, seorang kawan saya langsung menjemputnya dan menyapanya dengan ramah: ”Papa Mama, kakak apa kabar? Silakan masuk.”

Bagi kami, akan terasa lebih dekat jika Pak Sadi kami panggil dengan panggilan Papa, sebagaimana Sader memanggilnya. Pak Sadi adalah ayah dari Almarhum Maftuh Fauzi alias Nanang alias Sader. Melihat beliau di pemakaman, saya tak tahan, jadi teringat kembali Sader saat dibawa ke makamnya di daerah Kebumen. Seolah tak mau mencampuri lagi alam kuburnya dengan kehidupan politik di Jakarta, ia lebih memilih untuk istirahat dengan tenang di kampung halamannya, tempat kelahirannya.

Setahun sudah peristiwa demonstrasi kenaikan harga BBM di kampus UNAS, yang pada saat itu juga terjadi penyerbuan polisi ke dalam kampus, membabi buta menghancurkan apa saja, memukul siapa saja di dalam kampus, padahal pada waktu itu demonstrasinya sendiri sudah selesai.

Setahun sudah kasus ini tak berkembang, tak ada kejelasan penggantian pengobatan mahasiswa yang kepalanya bocor, tangannya patah, motor dan mobilnya hancur. Para pejabat yang saat itu berkoar-koar bersimpati terhadap Insiden Unas tak berbuat apa-apa, hanya numpang tenar seolah partainya peduli, seolah dirinya pun terpukul dengan kejadian tersebut. Puluhan bahkan ratusan karangan bunga untuk Almarhum Maftuh Fauzi menjadi simbol akan perasaan duka kematiannya dan juga menjadi simbol akan solidaritas perjuangan.

Tapi simbol, tetaplah menjadi simbol semata tanpa berpengaruh apa-apa, sedikitpun tidak. Termasuk sikap dari Rektorat Universitas Nasional yang menganggap kematian Sader seperti virus akut bagi mahasiswa UNAS lainnya, sehingga segala kegiatan mahasiswa sekarang dibatasi dan sangat dikontrol oleh Kampus, seolah curiga.

Mempertanyakan dan menolak sebuah kebijakan pemerintah merupakan hak setiap warga Indonesia. Hal tersebut wajar adanya, karena wargalah yang mengalami dampak tersebut, Dampak dari kenaikan harga BBM telah menuai protes keras dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa. Menjadi sangat ironis ketika ternyata penolakan tersebut disikapi secara represif oleh aparat. Sungguh tindakan aparat telah melanggar kemanusiaan. Sebegitu kejikah pendidikan yang diajarkan di Institusi Kepolisian?

Di rumah yang beralamat Jalan Danau Tempe 3 No. 240 RT 08/06 Depok Timur, Kelurahan Abadijaya, Sukmajaya, di kamar Almarhum Sader masih diparkir motor Yamaha Jupiter MX berwarna biru kepunyaan Almarhum, kadang-kadang dipakai oleh Pak Sadi.

”Motornya masih ada, dibiarin aja di kamar. Tidak mau dijual, biar aja Papa pake kadang-kadang,” Pak Sadi berkata. Sepertinya dengan begitu Papa selalu dapat mengingat anaknya dengan baik, meskipun makamnya sangat jauh jaraknya dari Depok.

Seperti pula Papa, saya dan semua kawan-kawan di UNAS akan terus mengenang Alm. Sader sebagai seorang teman, sahabat, kakak, dan seorang Pejuang. Selamat jalan kawan.

Tulisan ini telah dipublikasikan di primaironline pada 24 Mei 2009