
Andi Muttaqien
Hampir tepat setahun lalu, ratusan mahasiswa Universitas Nasional (UNAS), Jakarta, ditahan akibat aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM tanggal 23 Mei 2008.Para orang tua mahasiswa pun datang silih berganti ke Mapolres Jakarta Selatan untuk menjenguk anaknya, meskipun beberapa di antaranya tidak diperbolehkan bertemu.
Masih teringat ketika seorang Bapak datang ke saya, menitipkan plastik berisi pakaian bersih dan sedikit makanan ringan. Sang Bapak berkata: ”Mas, titip untuk anak saya ya. Saya tidak tahu ruangannya dimana, namanya Maftuh Fauzi.”
Hampir tiap ruangan polisi di Lantai 3 saya masuki untuk mencari seorang anak yang bernama Maftuh Fauzi. Hingga sampailah saya pada sebuah ruangan yang cukup sempit dan berisi hampir dua puluh mahasiswa duduk di lantai, seorang teman bernama Sader tunjuk tangan (Saat itu saya baru tahu nama asli Sader adalah Maftuh).
”Bokap lu nitip plastik neh der....,” saya berkata sembari melemparkan plastik tersebut.
Sader pun kaget. ”Yaaahhh...” Sepertinya dia menyesal kalau orang tuanya tahu dia ditahan, takut membebani pikiran kedua orang tuanya.
Tak berapa lama keluar tahanan, Sader meninggal di RS Pusat Pertamina. Hanya 18 (delapan belas) hari sejak penangguhan penahannya dikabulkan Polres Jaksel, yaitu tanggal 2 Juni 2008.
Mendengar berita kematian Sader, air mata saya tak tertahan. Bukan, bukan hanya karena dia mahasiswa UNAS yang ikut menolak kenaikan harga BBM, lebih dari itu, sebagaimana mahasiswa UNAS yang lain, Sader adalah teman baik saya. Mulai dari nongkrong, bercanda, kata-kataan, sampai kesamaan selera musik.
Terakhir kenangan adalah ketika, saya, Sader, Gembol dan Donny menyaksikan secara langsung penampilan HELLOWEEN (band metal asal Jerman) di Senayan. Bahkan ketika masih ditahan, dia sempat bercanda: ”Jadi nggak neh nonton TRIVIUM?” Sungguh kenangan tak terlupakan. Buat saya. Sader adalah kawan yang sangat supel dan periang.
Wajahnya masih sangat segar dan tenang. Meskipun memiliki kulit yang gelap, wajahnya tetap memancarkan keteduhan bagi lawan bicaranya. Mengenakan baju koko warna hitam dengan songkok di kepalanya, Pak Haji Sadi datang menyempatkan diri melayat ke rumah Moch. Khadafi, seorang mahasiswa UNAS.
Ayah Khadafi meninggal pada tanggal 18 April 2009 pagi-pagi benar, hanya semalam setelah beliau sampai di Jakarta sehabis melaksanakan Umrah. Saat itu Pak Sadi tidak datang sendiri, ia juga mengajak istri dan putrinya. Ketika Pak Sadi beserta Istri dan anaknya datang, seorang kawan saya langsung menjemputnya dan menyapanya dengan ramah: ”Papa Mama, kakak apa kabar? Silakan masuk.”
Bagi kami, akan terasa lebih dekat jika Pak Sadi kami panggil dengan panggilan Papa, sebagaimana Sader memanggilnya. Pak Sadi adalah ayah dari Almarhum Maftuh Fauzi alias Nanang alias Sader. Melihat beliau di pemakaman, saya tak tahan, jadi teringat kembali Sader saat dibawa ke makamnya di daerah Kebumen. Seolah tak mau mencampuri lagi alam kuburnya dengan kehidupan politik di Jakarta, ia lebih memilih untuk istirahat dengan tenang di kampung halamannya, tempat kelahirannya.
Setahun sudah peristiwa demonstrasi kenaikan harga BBM di kampus UNAS, yang pada saat itu juga terjadi penyerbuan polisi ke dalam kampus, membabi buta menghancurkan apa saja, memukul siapa saja di dalam kampus, padahal pada waktu itu demonstrasinya sendiri sudah selesai.
Setahun sudah kasus ini tak berkembang, tak ada kejelasan penggantian pengobatan mahasiswa yang kepalanya bocor, tangannya patah, motor dan mobilnya hancur. Para pejabat yang saat itu berkoar-koar bersimpati terhadap Insiden Unas tak berbuat apa-apa, hanya numpang tenar seolah partainya peduli, seolah dirinya pun terpukul dengan kejadian tersebut. Puluhan bahkan ratusan karangan bunga untuk Almarhum Maftuh Fauzi menjadi simbol akan perasaan duka kematiannya dan juga menjadi simbol akan solidaritas perjuangan.
Tapi simbol, tetaplah menjadi simbol semata tanpa berpengaruh apa-apa, sedikitpun tidak. Termasuk sikap dari Rektorat Universitas Nasional yang menganggap kematian Sader seperti virus akut bagi mahasiswa UNAS lainnya, sehingga segala kegiatan mahasiswa sekarang dibatasi dan sangat dikontrol oleh Kampus, seolah curiga.
Mempertanyakan dan menolak sebuah kebijakan pemerintah merupakan hak setiap warga Indonesia. Hal tersebut wajar adanya, karena wargalah yang mengalami dampak tersebut, Dampak dari kenaikan harga BBM telah menuai protes keras dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa. Menjadi sangat ironis ketika ternyata penolakan tersebut disikapi secara represif oleh aparat. Sungguh tindakan aparat telah melanggar kemanusiaan. Sebegitu kejikah pendidikan yang diajarkan di Institusi Kepolisian?
Di rumah yang beralamat Jalan Danau Tempe 3 No. 240 RT 08/06 Depok Timur, Kelurahan Abadijaya, Sukmajaya, di kamar Almarhum Sader masih diparkir motor Yamaha Jupiter MX berwarna biru kepunyaan Almarhum, kadang-kadang dipakai oleh Pak Sadi.
”Motornya masih ada, dibiarin aja di kamar. Tidak mau dijual, biar aja Papa pake kadang-kadang,” Pak Sadi berkata. Sepertinya dengan begitu Papa selalu dapat mengingat anaknya dengan baik, meskipun makamnya sangat jauh jaraknya dari Depok.
Seperti pula Papa, saya dan semua kawan-kawan di UNAS akan terus mengenang Alm. Sader sebagai seorang teman, sahabat, kakak, dan seorang Pejuang. Selamat jalan kawan.
Tulisan ini telah dipublikasikan di primaironline pada 24 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar