Keterangan Rocky Gerung Pada Sidang Pengujian UU Pornografi
Selamat sore, terima kasih Majelis yang mulia. Saya Rocky Gerung, saya mengajar Filsafat Hukum dan Feminist Legal Theory di Universitas Indonesia. Tadi saya memperhatikan dengan cara yang sangat seksama dan dalam tempo yang agak panjang uraian dari ahli yang lain dan saya sebetulnya mengambil kesimpulan yang saya kira sangat logis bahwa para ahli tadi sebetulnya mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan pembelaannya, yaitu setuju bahwa undang-undang ini tidak sempurna, begitu. Dan karena itu seharusnya ditarik atau dibatalkan. Soal isi argumentasinya adalah soal yang kedua, tetapi nuansa itu adalah nuansa untuk menarik undang-undang itu. Nah, supaya undang-undang itu bisa ditarik secara final, maka saya mau lengkapi saja argumennya.
Saya mengamati proses perdebatan undang-undang ini selama 700 hari terakhir ini, dan kesimpulan saya adalah bahwa ada semacam paradigma yang diedarkan sengaja atau tidak sengaja ke dalam masyarakat, yaitu bahwa adil, hanya disebut adil bila dilandaskan pada argumentasi moral. Dan saya kira suasana ini yang kemudian menjajah pikiran publik dan menyebabkan gelombang yang nyaris atau di beberapa tempat bahkan menjadi kekerasan.
Isi undang-undang ini sebetulnya dalam pandangan professional saya adalah undang-undang yang anti pada tubuh manusia. Undang-undang yang benci pada ketubuhan, ketubuhan manusia, juncto ketubuhan perempuan. Jadi, ada gejala di dalam masyarakat kita yang menganggap bahwa moralitas hanya dimiliki oleh laki-laki. Dan oleh karena itu, moralitas perempuan harus diatur oleh fasilitas di dalam peradaban yang disebut hukum. Jadi bagian ini saya kira yang diam-diam diselundupkan ke dalam wacana public dan kita seolah-olah tidak ingin masuk di dalam perdebatan itu. Contoh misalnya, seandainya dasar moralitas itu ditopangkan pada satu kondisi final yang disebut agama, maka tidak mungkin saya mengajukan dalil untuk membantah preposisi-preposisi logis atau preposisi hukum yang didasarkan pada dalil agama itu. Dalil agama adalah final, sementara kalau kita ingin menguji suatu jalan pikiran publik, kita musti anggap bahwa dalil itu tidak final. Jadi kalau argumen yang diedarkan di ruangan ini adalah argumen agama, tentu tidak ada perdebatan karena ukurannya adalah nanti setelah akhirat tiba, kecuali kita mampu mempercepat akhirat itu. Jadi ini adalah hal yang saya kira sebaiknya kita ucapkan demi bangsa ini agar supaya terbuka problematik yang sesungguhnya agar jangan ada dusta di antara kita.
Dalam rangka itu saya ingin menerangkan suatu soal itu, bahwa kalau misalnya seluruh keterangan yang diajukan oleh para Ahli tadi kita terima, maka itu berarti Undang-Undang Pornografi minus problem anak, minus problem internet, minus problem apa lagi tadi, minus problem kekerasan itu sudah diatur di dalam undang-undang yang lain. Itu berarti sisanya, kalau Undang-Undang Pornografi minus dikurangi seluruh argumen dari ahli tadi, sisanya adalah soal perempuan, sebetulnya. Justru itu yang tidak ingin diucapkan. Seolah-olah, moral mayoritas, dalam hal ini diam-diam adalah moral agama itu dijadikan ukuran final dari perdebatan publik. Kita tahu, yang disebut mayoritas itu bukan soal agama di dalam kehidupan warga negara. Negeri ini bukan negeri agamis, mayoritas profesi kita adalah petani. Karena itu negeri ini adalah negeri agraris, bukan negeri agamis. Jadi kita musti menghindari kebiasaan untuk memakai satu kategori sebagai satu-satunya ukuran di dalam upaya untuk menyusun kebijakan publik.
Nah, inilah keadaan yang sebetulnya diwariskan, bukan sekedar oleh rezim hukum sekarang ini, tapi berlaku jauh di belakang peradaban dari 25 abad yang lalu. Nah, inilah sebetulnya yang ingin diucapkan oleh mereka terutama oleh kelompok perempuan yang menganggap bahwa ada ketidakadilan yang dilegalisir, kemudian diinstalasikan di dalam sistem hukum positif kita.
Problem ini bukan problem khas Indonesia tapi problem seluruh dunia di mana orang berupaya untuk membongkar ulang mitologi, segala macam pikiran yang menganggap bahwa tubuh perempuan adalah lokasi hukum, lokasi politik, dan karena itu dia menjadi laboratorium tempat para patriarkis laki-laki melakukan uji coba moral. Ini soal yang amat berbahaya dalam upaya kita mengembangkan sebuah Indonesia yang majemuk.
Saya katakan tadi bahwa ini soal yang telah berabad-abad jadi problem. Saya beri contoh cepat-cepat misalnya, mitologi tentang seorang perempuan. Tentu kita tahu ada perempuan yang namanya Medusa yang sekarang jadi simbol, branded dari asesoris buat kaum perempuan, Medusa, rambutnya ular. Medusa ini di dalam mitologi diceritakan bahwa suatu waktu ada seorang perempuan, cantik, pintar, lagi belajar tentang konstitusi, duduk-duduk di pantai Kuta, anggap saja di Yunani ada pantai namanya Pantai Kuta dengan pakaian Pantai Kutea karena dia membaca sambil menikmati alam. Tiba-tiba ada gelombang datang di depan dia, dia pikir ada Tsunami, ternyata tidak. Ternyata gelombang itu menghantarkan seorang laki-laki yang dikenal sebagai dewa laut, Poseidon. Poseidon tiba di pinggir pantai itu dan melihat keadaan Medusa, dia memperkosa Medusa. Medusa datang ke Komnas Perempuan Athena, dia melapor bahwa dia diperkosa atau bukan Komnas Perempuan, Menteri Urusan Perempuan Athena-lah misalnya, menterinya bilang, Andalah yang bersalah karena Anda separuh telanjang di pinggir Pantai Kuta Yunani itu. Oleh karena itu Anda harus dihukum. Maka Medusa itu dihukum yaitu dia dikutuk mukanya yang cantik akan berubah menjadi monster. Rambutnya yang ikal yang direbonding setiap hari berubah menjadi kumpulan ular. Itulah hukuman pada perempuan, dan hukuman itu diatur di dalam hukum Athena.
Kita tahu bahwa bukan cuma itu hukuman pada Medusa. Semua laki-laki Athena yang bertatapan dengan Medusa akan berubah menjadi batu karena dari sorot mata Medusa yang tadinya bening, keluar api. Jadi semua laki-laki di Athena itu kabur itu kalau Medusa lagi mau ke mall itu. Nah, ini suatu keadaan, karena itu kemudan dia dihukum lagi bahwa dia harus dibunuh karena dia menyebarkan teror pada public yang punya moralitas patriarkis di Athena. Hukumannya adalah dia harus dihilangkan nyawanya. Dan seluruh preman berjubah di Athena dihadirkan untuk mengejar Medusa. Tidak ada yang berhasil, karena setiap kali laki-laki yang mendekat tubuhnya, ditatap oleh sorot mata Medusa berubah jadi arang. Lalu dicari akal, bagaimana caranya untuk melumpuhkan Medusa. Diintiplah kamar tidur Medusa. Ternyata, setiap malam sebelum Medusa tidur, dia copot bola matanya dan dia simpan di sebuah tempayan kecil. Hanya dengan cara itu dia bisa tidur sebab kalau nggak matanya akan terus menerus menyala, tidak bisa tidur dia.
Nah, waktu mereka tahu rahasia itu, diutuslah pahlawan perang Athena yang terkenal, siapa namanya, Persious untuk memenggal kepala Medusa dalam keadaan Medusa tidur. Jadi, bayangkan ketidakadilan. Laki-laki yang menganggap diri sebagai jagoan harus menunggu Medusa tidur, baru dia berani memenggal kepala Medusa. Dan cerita itu berakhir bahwa setelah kepala Medusa dipenggal, dari genangan darahnya, muncul terbang sesosok makhluk yang kemudian tercium wangi, makin lama, makhluk itu makin jelas, kita tahu dia sebagai kuda terbang yang namanya Pegasus. Dan Pegasus itu yang menjadi sumber inspirasi guru sastrawan dan budayawan dunia. Jadi moral dari cerita ini mau mengatakan bahwa problem penindasan perempuan dengan asumsi paradigma patriarki sudah berlangsung sangat lama. Jadi upaya kita untuk merevisi undang-undang itu adalah upaya untuk memperbaiki peradaban sebetulnya, upaya untuk meninjau kembali semua perlengakapan peradaban instalasi politik dan hukum yang dipakai untuk meneggelamkan identitas perempuan.
Semua contoh yang ada di sini tadi dari Ibu Inke Maris atau cerita yang diucapkan oleh Pak Tjipta Lesmana itu adalah cerita tentang subyek perempuan. Jadi dari pilihan gambar sudah jelas bahwa yang dajukan sebagai kasus adalah perempuan. Kita tidak melihat argumen di situ untuk mengatakan bahwa kenapa you pilih perempuan untuk diajukan di situ? Jadi ini hal yang saya kira sangat serius sebab upaya untuk me-review undang-undang itu bukan sekedar me-review pasal-pasalnya tetapi mereview cara kita memahami subyeknya yang namanya perempuan. Yang kita tahu di dalam ilmu hukum terus menerus dikatakan bahwa yang disebut subyek adalah sebetulnya pria dewasa, heteroseks, berkulit putih. Bias itu yang masih kita idap sebetulnya. Kita ingin sewaktu-waktu mengucapkan bahwa person in law adalah juga perempuan juga laki-laki itu.
Nah, Majelis Hakim yang terhormat.
Kalau kita masuk pada materinya, mengukur birahi seseorang itu, saya mesti membawa alat untuk mengetahui berapa persen dopalmin saya itu naik, kadar dopalmin, sama seperti mengukur alkohol begitu. Berapa persen dia naik sehingga kita bisa katakan you saya tangkap karena kecanduan keracunan alkohol. Ini sama juga itu, birahinya diukur dengan cara apa? Kalau saya, saya pergi dengan teman saya Pak Tjipta, kalau dia terangsang pada Sarah Azhari di layar tadi mungkin saya lebih terangsang pada seorang perempuan yang imajinasinya liar, digambarkan sekedar sebagai karikatur di situ, tetapi saya tahu pikirannya itu, pikirannya itu membuat saya birahi itu. Jadi variasi, threshold kebirahian orang itu beda-beda. Nah, ini soal makin lama makin jadi perkara karena kita tidak bisa menggeneralisir tingkat kedewasaan orang untuk menerima atau menikmati pornografi.
Jelas bahwa di dalam kondisi kedewasaan, moral orang dewasa adalah otonom, pornografi boleh dikonsumsi karena transaksi di antara dua warga negara yang otonom. Anak bukan subyek moral yang otonom, karena itu dia dilarang. Tetapi pada orang dewasa hak itu tidak boleh dilarang, boleh diatur tetapi tidak dilarang. Nah, moral inilah yang mestinya dijadikan ukuran moral publik, itu transaksi di antara warga negara yang bertanggung jawab. Diskriminasi terjadi kalau dibuat perbedaan ada warga negara yang bermoral atau berdasarkan ayat agama ada warga negara yang tidak bermoral berdasarkan ayat agama. Bagi saya hubungan di antara warga negara hanya boleh diukur dari satu ayat namanya ayat konstitusi bukan ayat suci. Itu yang kita sebut sebagai kegiatan kehidupan publik.
Jadi Majelis Hakim dan Pihak Pemerintah, saya sebetulnya ingin agar supaya ada pikiran alternatif untuk kita edarkan kepada public bahwa Indonesia sedang bergerak di dalam upaya untuk memastikan kemajemukan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus berlanjut, Undang-Undang Pornografi tidak boleh dilanjutkan. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar