Kamis, 24 Desember 2009 | 03:08 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03083226/Nilai.467.Dus.Kaleng
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03083226/Nilai.467.Dus.Kaleng
Pukul 03.00, Jumat, 7 November 2003. Yakobus Lay (65) alias Lay Cung Sin, warga Nusa Tenggara Timur, bersama sopirnya membawa barang dagangan, 467 dus minuman kaleng dagangannya. Sudah empat tahun Yakobus berdagang minuman sehingga ia tidak merasa ada yang aneh saat berpapasan dengan rombongan aparat militer dan polisi sekitar 8 kilometer dari perbatasan dengan Timor Leste. Apalagi, di kampung sebelumnya, di dekat Desa Aitoun, Yakobus telah bertemu rombongan itu.
”Rupanya mereka tunggu di hutan, di tempat yang tidak ada rumah,” katanya.
Oknum Koramil dan Polsek Weluli itu bertanya, akan ke mana dus-dus minuman itu dibawa. ”Akan dibawa ke Desa Beilalu,” kata ayah enam anak ini sambil menyebut salah satu langganannya. Oknum polisi meminta Rp 5 juta. Yakobus menolak. Ia beralasan untuk meminjam motor agar bisa melaporkan pemerasan ini ke Polres Belu. ”Tapi, mereka tidak kasih,” ceritanya.
Paginya, Yakobus dibawa ke Polres Atambua. Di sana ia diperiksa sebagai tersangka penyelundupan. ”Saya sempat liat dus saya ada di satu ruangan di Polres Atambua,” kata Yakobus. Tanggal 13 Februari 2004, Yakobus dipindahkan ke rutan setelah berkas perkara dan barang bukti miliknya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Atambua.
Di sini masalah muncul lagi. Setelah empat hari masuk rutan, ia dimintai uang Rp 1,25 juta oleh oknum Kejari Atambua berinisial M agar truk bisa diambil pemiliknya. Yakobus sempat meminta penangguhan penahanan lewat anaknya, Yus. Untuk itu, dia diharuskan membayar Rp 7,5 juta oleh oknum M tadi. Setelah ditahan selama 21 hari dan sempat disuruh tidur di lantai sel tanpa alas, akhirnya pada tanggal 3 Maret 2004, Yakobus bisa keluar dari rutan. Ia sempat diminta untuk menandatangani surat pelelangan barang bukti oleh seorang oknum jaksa. ”Saya tidak mau karena proses hukum belum selesai,” kata Yakobus.
Oleh Pengadilan Negeri Atambua, 11 Oktober 2004, Yakobus dinyatakan melanggar Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan tentang penyelundupan. Mendapat hukuman 1,5 bulan penjara dan denda Rp 500.000 itu, Yakobus yang diadili tanpa didampingi pengacara itu naik banding. Oleh Pengadilan Tinggi Kupang, 13 Desember 2004, ia dinyatakan tidak bersalah dan Pengadilan Tinggi Kupang memerintahkan agar barang bukti berupa 467 dus minuman kaleng yang masing-masing berisi 24 kaleng minuman itu dikembalikan ke Yakobus. Putusan ini kemudian dikuatkan Mahkamah Agung pada 6 Oktober 2005.
Sudah lebih dari empat tahun, 467 dus minuman itu belum dikembalikan juga. Bagi Yakobus, itulah harapannya untuk menyambung hidup setelah sebagian besar tanah dan rumahnya dijual untuk membiayai transaksi-transaksi gelap di proses hukumnya dan biaya hidupnya. ”Semua sudah habis....,” katanya terpotong isakan.
Pembicaraan dilanjutkan oleh Andi Muttaqien dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurut Andi, pihaknya telah membantu Yakobus membuat kronologi peristiwa, berdasarkan cerita pria yang tidak bisa menulis ini. Selanjutnya, pihak YLBHI, Rabu (23/12), menyurati kejaksaan untuk mempertanyakan misteri hilangnya 467 dus kaleng minuman itu. ”Menurut hukum, barang bukti yang berkaitan dengan upaya mencari nafkah harus dikembalikan,” kata Andi.
Sudah sebulan Yakobus kos di bilangan Kramat, Jakarta. Ia masih terus berjuang. Semakin sedikit jumlah tanah dan harta yang bisa ia jual. Padahal, dua anaknya yang terkecil, berusia 9 dan 12 tahun, masih membutuhkan biaya. (EDNa c pattisina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar