Jumat, 05 Juni 2009

Pengabaian Rasa Keadilan Dalam Penetapan Gugatan CLS (Gugatan Hilangnya Hak Pilih)

Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit CLS) atas hilangnya hak untuk memilih dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah yang disidangkan di PN Jakarta Pusat (nomor register: 145/PDT.G/2009/PN.JKT/PST) dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim pada tanggal 3 Juni 2009. Gugatan ini diajukan oleh 10 warga Negara yang kehilangan Hak untuk memilih dalam Pemilu Legislatif dengan kuasa hukumnya dari YLBHI, PBHI, dan LBH APIK.


Dalam memutus perkara ini, Majelis Hakim jelas-jelas mengabaikan rasa keadilan warga Negara karena tidak mempertimbangkan hilangnya jutaan hak warga Negara untuk memilih. Hak untuk memilih merupakan hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh Negara terutama Pemerintah. Hak untuk memilih telah dijamin oleh UUD 1945 dan juga Undang-undang lainnya. Seharusnya Majelis Hakim mengutamakan reparasi hak untuk memilih yang telah hilang.


Kelalaian dari KPU dan Pemerintah telah mengakibatkan tahapan Pemilu sebagaimana disyaratkan Pasal 4 ayat (2) huruf h UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) bagi sekitar 4,5 juta warga Negara menjadi tidak terlaksana. Oleh karena itu, wajib bagi KPU untuk melaksanakan Pemilu susulan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 229 UU Pemilu: “Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu Susulan


Salah satu syarat dalam mekanisme CLS adalah notifikasi (pemberitahuan). Dalam praktek di negara-negara Common Law, notifikasi warga negara diberikan kepada Penguasa untuk melakukan suatu hal selama 60 hari batas waktunya. Dalam kasus Hilangnya Hak Memilih di Indonesia, hal tersebut tak mungkin diterapkan, karena dalam gugatan petitumnya adalah meinta Pemilu susulan. Majelis Hakim dalam penetapannya berpendapat bahwa notifikasi yang disampaikan Para Penggugat terhadap Para Tergugat terlalu sempit batas waktunya karena tidak sampai 60 hari sebagaimana dipraktekkan di negara-negara lain. Alasan Majelis Hakim tersebut sangat tidak masuk akal, karena jika hal tersebut (batas waktu 60 hari) diterapkan dalam kasus ini maka akan sangat sempit waktunya dengan Pemilihan Umum Presiden.


Notifikasi (pemberitahuan) yang kami sampaikan pada tanggal 14 April 2009 kepada Komisi Pemilihan Umum cq. Abdul Hafiz Anshary (Tergugat I) dan Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq. Susilo Bambang Yudhoyono (Tergugat II) telah disalah artikan oleh Majelis Hakim yang diketuai Sugeng Riono. Majelis Hakim menganggap bahwa Para Penggugat memberikan batas waktu 7 (tujuh) hari bagi Para Tergugat untuk menyelenggarakan Pemilu susulan. Padahal telah dinyatakan dalam notifikasi (pemberitahuan) tersebut bahwa dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut Para Tergugat diminta untuk “menerbitkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pelaksanaan Pemilu susulan”. Terhadap hal ini kami dapat juga mengatakan bahwa pendapat Majelis Hakim adalah premateur karena Majelis Hakim belum melihat notifikasi (pemberitahuan) yang kami sampaikan kepada Para Tergugat.


Semoga hal-hal yang substantif sifatnya dapat menjadi pertimbangan para Hakim dalam mengadili perkara apapun, bukan hanya melihat pada hal-hal prosedural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar