Kamis, 25 Juni 2009

Keseriusan Polisi Mengimplementasikan Prinsip dan Standar HAM Dalam Tugasnya

Merupakan sebuah niat baik bagi institusi kepolisian dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia, tidak banyak yang tahu bahwa pada tanggal 22 Juni 2009 telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAP).

Pada hari Kamis, 25 Juni 2009 Kepolisian mengadakan seminar berjudul sama dengan PERKAP tersebut. Hadir pembicara pada sesi I: Irjen. Pol. Aryanto Sutadi, MH., MSC (Kadivbinkum Polri), A. Pandupraja, SH., LL.M (Sekretaris Kompolnas), Prof Harkristusi Harkrisnowo, SH., MA., Ph.D (Dirjen Bid Hukum Dan HAM – Depkumham), dan Nursyahbani Katjasungkana, SH. (DPR-RI). Kemudian pada sesi II: Ifdhal Kasim, SH. (Ketua KOMNAS HAM), Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH., LL.M. (Advokat), Asfinawati, SH. (LBH Jakarta) dan salah seorang Akademisi.

PERKAP ini menurut Kadivbinkum Polri merupakan upaya Polri dalam melaksanakan penerapan HAM yang akan di-declare pada 1 Juli sebagai hari Bhayangkara. PERKAP ini juga bukan tanggapan terhadaop laporan penelitian Amnesty Internasional “Unfinished Bussines Police Accountability In Indonesia” yang baru saja dirilis. Selain itu, PERKAP ini juga sengaja disebar kepada masyarakat agar menjadi tantangan bagi aparat.

Melihat keseluruhan isi PERKAP, terlihat bahwa sudah cukup banyak prinsip dan standar hak asasi manusia yang dimasukkan yang merujuk pada instrumen hak asasi manusia internasional.
Konsepsi ideal ini menunjukkan keseriusan kepolisian dalam menerapkan nilai-nilai hak asasi manusia.

Berbagai ketentuan dalam PERKAP misalnya tentang perilaku petugas penegak hukum, tindakan penangkapan dan penahanan, tindakan investigasi, perlindungan korban dan saksi, penggunaan kekerasan dan senjata api dan sebagainya mempunyai konsekuensi yang besar. Konsekuensi tersebut adalah sejauh mana kesiapan aparat kepolisian dan infrastruktur di kepolisian untuk mendukung implementasi PERKAP ini secara efektif.


Sebagai contoh misalnya dalam pasal 23 tentang tindakan penahanan yang harus senantiasa memperhatikan prinsip dan standar internasional HAM. Dalam ketentuan tersebut hak-hak tahanan dilindungi misalnya dengan diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, berhak mendapatkan layanan medis yang memadai, tersangka ditempatkan difasilitas-fasilitas yang manusiawi, yang dirancang dengan memenuhi persyaratan kesehatan yang tersedia air, makanan, pakaian, pelayanan kesehatan, fasilitas untuk beroleh raga dan barang-barang untuk keperluan pribadinya.


Hak-hak orang yang ditahan sebagaimana disebutkan dalam PERKAP harus dimulai dengan sikap aparat kepolisian untuk senantiasa memperlakukan dengan hormat dan penuh martabat setiap tersangka atau orang yang ditahan. Perubahan sikap ini merupakan salah satu kendala yang dihadapi institusi kepolisian karena masih kita lihat perlakuan aparat kepolisian terhadap para tersangka, bahkan dijadikan obyek berita yang berlebihan di program-program televisi.


Kemudian soal hak tahanan untuk mendapatkan kondisi yang memadai juga merupakan hal yang perlu ditekankan, karena kondisi tempat-tempat penahanan di kepolisian atau rumah tahanan lain masih jauh dari kesiapan untuk mengimplementasikan apa yang disyaratkan dalam PERKAP.


Ketentuan dalam PERKAP yang sangat ideal ini pun harus dibarengi dengan usaha terus menerus dari institusi kepolisian untuk membina aparat kepolisian memahami hak asasi manusia menuju perilaku yang sesuai dengan prinsip dan standar hak asasi manusia. Upaya ini bisa merujuk pada ketentuan BAB VIII tentang Pembinaan dan Pengawasan.


Kepolisian juga harus membenahi sarana dan prasarana untuk dapat mengimplementasikan isi dan ketentuan dalam PERKAP karena aparat kepolisian akan mengalami kendala ketika harus mengimplementasikan isi PERKAP tetapi tidak ditunjang dengan dukungan sarana yang memadai.


Semoga hal ini menjadi langkah maju bagi
kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana disebut dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana dikatakan Asfinawati dalam seminar tersebut bahwa dalam keadaan damai justru Polisi-lah yang harus maju, bukan tentara.

Minggu, 07 Juni 2009

The Flowers “Gak Ada Matinya”

Menghajar penonton dengan “On n on”. Malam itu The Flowers naik panggung pukul 12.00, bahkan lebih kalau tidak salah. Gitarnya Boris emang crunchy banget kedengerannya, khas Rock n Roll. Lagu pertama ini emang langsung membuat manusia-manusia berdandan ala Punk yang hadir di Prost Beer House terkesima. Memang, sejak saya masuk tidak ada satu band pun yang membawakan irama Rock n Roll selain The Flowers, maklum saja acara tersebut merupakan reuniannya Young Offender.


Setahu saya, The Flowers sendiri awalnya tidak main di acara ini, tapi karena beberapa band seperti Superglad dan Seringai yang dijadwalkan main disana berhalangan. Mungkin hanya dia satu-satunya yang memainkan Rock n Roll pada malam itu. Lagu kedua makin membuat para penonton terkesima, “Tolong Bu Dokter”. Lagu yang membuat The Flowers mengokohkan dirinya sebagai band rock Indonesia papan atas. Lagu ini sangat populer pada tahun 97an, meskipun setelah itu mereka belum mengeluarkan album lagi.


Selain Boris dan Njet, The Flowers sekarang diperkuat oleh Leo M (Bass), Dado (Drum), Eugene (Additional Saxophone). Tambahan pada saxophone membuat The Flowers sangat manis didengar. Sebelum membawakan Tolong Bu Dokter, Njet sempat memperkenalkan sang peniup Sax, Eugene dan meminta penonton agar mengangkat tangannya ketika dia memainkan alat tiupnya tersebut.


Masih ingin memanaskan suasana malam itu, “Nggak Ada Matinya” langsung menghantam penonton. Spontan saja penonton menari diiringi dengan alunan manis dari Saxophone-nya Eugene dan kocokan gitarnya Boris. Kata-kata nakal dalam lirik lagu tersebut tidak absen diikuti para penonton. Di belakang drum Dado terus membuat gebukan-gebukan gantung yang bikin enak bergoyang dan ditandingi oleh betotan Bass dari Leo.


“Bayangan” dibawakan sebagai lagu penenang setelah penonton dihajar 3 lagu sebelumnya. Lirik lagu ini memang dapat menjadi pelarian bagi para penonton yang baru saja putus pacaran hehehe…, simak saja penggalan liriknya “…ku terbuai ku terlena nikmati rasa sepiku…..namun bayangan dirimu tak juga hilang dari ku….”. Penonton mengikuti kata-kata Njet dengan teratur luar biasa. Tapi sayang, sepertinya pada saat Boris nge-Lead sound gitarnya nggak keluar.


Penampilan The Flowers malam itu ditutup dengan lagu baru yang berjudul “Rajawali”. Lagu yang menceritakan tentang nikmatnya minum Rajawali (titipan produsen Rajawali kayaknya biar laku hehehe….), atau mungkin kelakuan para personelnya ketika masih muda (hingga sekarang). Intro lagu ini saja sudah bikin orang bergoyang, apalagi ketika bagian refrainnya, mantap abis.


Penampilan The Flowers malam itu membuat sedikit berwarna reuni Young Offender. Rencananya mereka akan mengeluarkan album pada Oktiber 2009, mudah-mudahan saja setelah keluar album, mereka tidak vakum lagi. Akhirnya setelah gagal menonton mereka pada April 2009 kemarin di tempat yang sama, saya dapat puas menonton mereka malam itu. Semoga kehadiran kembali The Flowers dalam kancah musik Indonesia akan mengobati kerinduan pencinta musik Rock di tengah dominasi band-band macam Kangen, ST 12, Hijau Daun dsb.


Long Live Rock n Roll……

(catatan konser The Flowers @ Prost Beer House, Kemang, 6 Juni 2009 dalam Reuni Young Offender)

Jumat, 05 Juni 2009

Pengabaian Rasa Keadilan Dalam Penetapan Gugatan CLS (Gugatan Hilangnya Hak Pilih)

Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit CLS) atas hilangnya hak untuk memilih dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah yang disidangkan di PN Jakarta Pusat (nomor register: 145/PDT.G/2009/PN.JKT/PST) dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim pada tanggal 3 Juni 2009. Gugatan ini diajukan oleh 10 warga Negara yang kehilangan Hak untuk memilih dalam Pemilu Legislatif dengan kuasa hukumnya dari YLBHI, PBHI, dan LBH APIK.


Dalam memutus perkara ini, Majelis Hakim jelas-jelas mengabaikan rasa keadilan warga Negara karena tidak mempertimbangkan hilangnya jutaan hak warga Negara untuk memilih. Hak untuk memilih merupakan hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh Negara terutama Pemerintah. Hak untuk memilih telah dijamin oleh UUD 1945 dan juga Undang-undang lainnya. Seharusnya Majelis Hakim mengutamakan reparasi hak untuk memilih yang telah hilang.


Kelalaian dari KPU dan Pemerintah telah mengakibatkan tahapan Pemilu sebagaimana disyaratkan Pasal 4 ayat (2) huruf h UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) bagi sekitar 4,5 juta warga Negara menjadi tidak terlaksana. Oleh karena itu, wajib bagi KPU untuk melaksanakan Pemilu susulan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 229 UU Pemilu: “Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu Susulan


Salah satu syarat dalam mekanisme CLS adalah notifikasi (pemberitahuan). Dalam praktek di negara-negara Common Law, notifikasi warga negara diberikan kepada Penguasa untuk melakukan suatu hal selama 60 hari batas waktunya. Dalam kasus Hilangnya Hak Memilih di Indonesia, hal tersebut tak mungkin diterapkan, karena dalam gugatan petitumnya adalah meinta Pemilu susulan. Majelis Hakim dalam penetapannya berpendapat bahwa notifikasi yang disampaikan Para Penggugat terhadap Para Tergugat terlalu sempit batas waktunya karena tidak sampai 60 hari sebagaimana dipraktekkan di negara-negara lain. Alasan Majelis Hakim tersebut sangat tidak masuk akal, karena jika hal tersebut (batas waktu 60 hari) diterapkan dalam kasus ini maka akan sangat sempit waktunya dengan Pemilihan Umum Presiden.


Notifikasi (pemberitahuan) yang kami sampaikan pada tanggal 14 April 2009 kepada Komisi Pemilihan Umum cq. Abdul Hafiz Anshary (Tergugat I) dan Pemerintah Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia cq. Susilo Bambang Yudhoyono (Tergugat II) telah disalah artikan oleh Majelis Hakim yang diketuai Sugeng Riono. Majelis Hakim menganggap bahwa Para Penggugat memberikan batas waktu 7 (tujuh) hari bagi Para Tergugat untuk menyelenggarakan Pemilu susulan. Padahal telah dinyatakan dalam notifikasi (pemberitahuan) tersebut bahwa dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut Para Tergugat diminta untuk “menerbitkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pelaksanaan Pemilu susulan”. Terhadap hal ini kami dapat juga mengatakan bahwa pendapat Majelis Hakim adalah premateur karena Majelis Hakim belum melihat notifikasi (pemberitahuan) yang kami sampaikan kepada Para Tergugat.


Semoga hal-hal yang substantif sifatnya dapat menjadi pertimbangan para Hakim dalam mengadili perkara apapun, bukan hanya melihat pada hal-hal prosedural.