Kamis, 15 Oktober 2009

Persidangan ke-V Pengujian UU Pornografi

Ini merupakan review singkat Pengujian UU Pornografi hari Kamis, 8 Oktober 2009. Agenda sidang kali itu adalah Mendengarkan Keterangan Pihak Terkait (Kowani, MUI, Dewan Kesenian Jakarta). Saksi/Ahli dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait (Komnas Perempuan)

Kami, Kuasa Hukum Para Pemohon perkara no 17/PUU-VII/2009 menghadirkan Ahli, yaitu:Enny Soeprapto, Ph.d (Ahli Hukum HAM Internasional), dan Prof. Bernard Arief Sidharta (Guru Besar Filsafat Hukum Univ. Katholik Parahyangan). Sedangkan Para Pemohon perkara no 10/PUU-VII/2009 yang dikomando LBH APIK menghadirkan Ahli:Thamrin Amal Tomagola, Prof. Irwanto (Ahli Psikologi Anak dan Pornografi Anak), serta Dr. Kristipurwandari (Psikologi korban Kekerasan terhadap Perempuan)


Pokok-pokok Keterangan dari Pihak Terkait (MUI dan KOWANI)

Pihak Terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan tanggapan atas kesaksian Pemohon pada sidang sebelumnya. Sejak awal perumusan RUU Pornografi dan Pornoaksi, MUI ikut serta mengusungnya demi menyelamatkan moral bangsa Indonesia. Menurut MUI, di Negara-negara Liberal seperti Amerika pun memiliki UU Pornografi, yakni UU tentang Children Sexual Exploitation Crime.

UU Pornografi yang ada sekarang dinilai kurang mengakomodir usulan-usulan yang pernah mereka ajukan sebelumnya. Namun, hal ini jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. UU Pornografi melindungi seluruh masyarakat, karena itu MUI memohon agar permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.

Kedudukan Hukum Para Pemohon pun dipermasalahkan oleh Pihak Terkait MUI. Menurutnya, Para Pemohon perkara 17/PUU-VII/2009 tidak jelas kerugian konstitusional yang dialaminya. Terlebih Para Pemohon dari Lembaga-lembaga (LSM) karena tidak menjelaskan hubungan sebab akibat dengan adanya UU Pornografi tersebut.

Terkait dengan banyaknya penafsiran dari Definisi Pornografi yang tertera pada Pasal 1 ayat 1 UU no. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, MUI juga meminta agar MK memberikan tafsirnya terhadap pasal tersebut, agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan.

Sementara itu, Pihak Terkait Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang menyampaikan tanggapannya, menyatakan bahwa Permohonan Para Pemohon kurang tepat karena dianggap tidak bisa menjelaskan kerugian konstitusional apa yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya undang-undang a quo.


Pokok-Pokok Keterangan Ahli Dari Pemerintah

Dr. Andre Mayza (neuroscientist), menerangkan bahwa pornografi dapat mengakibatkan adiksi (ketagihan) yang tidak disebabkan karena kebutuhan, dan hal ini mengakibatkan kerusakan otak secara kimiawi.

Pery Umar Farouk (surveyor internet), mengemukakan bahwa selama lima tahun terakhir ini perilaku pornografi mengalami peningkatan. Tahun 2007 Indonesia berada di peringkat lima pengakses pornografi terbanyak. Tahun 2008 Indonesia naik di peringkat tiga. Bahkan, video porno mini yang banyak beredar saat ini banyak diakses oleh kalangan mahasiswa dan pelajar. UU Pornografi dapat menjadi kesadaran virtual bahwa pornografi adalah masalah serius.

Elly Risman (Psikolog – Yayasan Buah Hati dan Kita) menerangkan cuplikan-cuplikan video dan permainan-permainan di internet yang mudah diakses oleh anak-anak yang sifat dari permainan tersebut sangat Porno. Hasil survey Komnas Perlindungan Anak terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia. Di sini kita lihat bahwa ternyata 97% pernah menonton film porno, 93,7% pernah ciuman, petting, dan oral seks, 62,7% satu dari dua anak lebih remaja SMP dan SMU tidak perawan lagi, dan 21,2% remaja SMP dan SMU pernah aborsi.

Dr. Mudzakir (Ahli Pidana UII) coba membandingkan ketentuan pornografi dengan negara lain, ketentuan ini kami kaji dengan Prof. Barda Nawawi Arief dalam rangka untuk menguji seberapa norma pornografi yang ada dimuat di dalam kita ini seimbang atau sejajar atau ada perbandingan dengan negara-negara lain, yaitu Brunei Darussalam, China, Norwegia, Vanuatu, Korea, Rumania.

UU Pornografi tidak akan melanggar Kebhinnekaan Indonesia karena Pasal 3 huruf B, “menghormati, melindungi, melestarikan nilai seni dan budaya adat istiadat ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk”, telah menetralisirnya. UU Pornografi ini tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi sudah ada proses panjang sebelumnya dan Dr. Mudzakir adalah salah satu yang terlibat.

Menurutnya Pasal 1 angka 1 bukan memuat norma, sehingga pengujian terhadap Pasal 1 angka 1 secara berdiri sendiri tidak bisa karena tidak ada orang di dalam hukum pidana itu karena melanggar Pasal 1 angka 1 dimasukkan ke penjara, sehingga dengan demikian rumusan Pasal 1 belum menjadi norma hukum pidana.


Pokok-Pokok Keterangan Ahli Dari Para Pemohon

Enny Soeprapto (Ahli Hukum dan HAM) mengatakan bahwa meskipun mencantumkan kebhinekaan atau kemajemukan masyarakat Indonesia sebagai salah satu asas dan salah satu tujuannya, ketentuan-ketentuan operatif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 (biasa disebut batang tubuh) justru mengabaikan kebhinekaan atau kemajemukan bangsa Indonesia. Kedua, pengabaian kebhinekaan atau kemajemukan bangsa Indonesia oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, diabaikannya kondisi masyarakat yang bhinneka dan terdapatnya sejumlah istilah yang dapat ditafsirkan secara beragam dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan berakibat terjadinya ketidakpastian hukum. Selain itu tindakan pelarangan, pembatasan dan pencegahan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 akan menimbulkan pelanggaran sejumlah hak asasi dan kebebasan fundamental yang diakui dan dijamin perlindungannya oleh UUD 1945, UU No 39 tentang HAM, Duham tahun 1948, Kovenan Ekosob tahun 1966 dan Kovenan Internasional tentang hak Sipol.

Prof. Arief Sidharta (Ahli Filsafat Hukum). Undang-Undang Pornografi ini mengatur bidang moral positif yang nampaknya masih sedemikian beragam, jadi yang belum mencapai kristalisasi yang diperlukan untuk dapat dipaksakan secara publik dengan sanksi hukum berarti sudah menjadi semacam institutional surrender yang dapat menciptakan suasana legal moralism yang membuka peluang untuk memaksakan keyakinan moral sekelompok orang tertentu kepada semua warga masyarakat yang berbeda pandangan dan keyakinan moralitasnya, ini hukum yang sok moralis. Selain itu juga nampaknya sebagian besar memang keberadaan UU Pornografi itu sudah agak berlebihan, mengingat hal-hal yang berkaitan dengan moralitas masyarakat seperti moralitas pornografi itu memang sudah mungkin sudah memberikan pengaturan hukum dengan ancaman sanksi hukumnya.

Selanjutnya berturut-turut Ahli dari Pemohon perkara nomor 10/PUU-VII/2009, yaitu Thamrin Amal mengatakan bahwa jika UU ini dipakai sama saja dengan memakai KUHP karena ancaman pidananya pun hampir sama dengan KUHP. Kemudian Prof Irwanto dan Kristipurwandari. Serta terakhir Ahli dari Pihak Terkait KOMNAS PEREMPUAN, yaitu Saparinah Sadli.


Sidang Terakhir

Dewan Kesenian Jakarta (sebagai pihak terkait) yang pada awalnya akan memberikan pendapatnya terhadap Pengujian UU Pornografi ini batal hadir dan tidak ada kesempatan berikutnya karena sidang kali ini merupakan sidang terakhir. Ketua MK juga mempersilahkan Ahli yang belum dihadirkan Para Pemohon dalam sidang dapat memberikan Keterangannya secara tertulis yang diserahkan bersamaan dengan Kesimpulan dari masing-masing Para Pemohon, waktunya dua minggu dari hari sidang.

selangkapnya, silahkan unduh risalah