Walaupun terlambat, saya tetap berusaha memberi resume persidangan Pengujian UU Pornografi yang dilaksanakan Kamis, 27 Agustus 2009 dengan agenda: Mendengarkan Keterangan Ahli dan saksi dari Pemohon dan Pemerintah, serta Pihak Terkait yang terdiri dari Kowani, MUI dan Komnas Perlindungan Anak.
Sidang Pengujian UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang diajukan 3 pihak Pemohon teregistrasi dengan No. 10/PUU-VII/2009 (masyarakat Sulut), 17/PUU-VII/2009 (dipimpin YLBHI) saya ikut dalam tim ini, dan 23/PUU-VII/2009 (dipimpin LBH APIK) dimulai pukul 10.00 WIB. Para Pemohon Perkara No 17/PUU-VII/2009 menghadirkan Rocky Gerung sebagai Ahli Filsafat, sedangkan Para Pemohon Perkara Nomor 23/PUU-VII/2009 menghadirkan Achie S Luhulima sebagai Ahli Feminisme.
Sedangkan Pemerintah menghadirkan Ahli sebagai berikut: Ade Armando (media massa), KRMT Roy Suryo (teknologi informasi), Inke Maris (komunikasi), Taufik Ismail (budayawan), Elly Risman (psikolog), Andre Mayza (neuroscientis), Tjipta Lesmana (komunikasi massa), dan Fery Umar Farouk (surveyor internet), Sumartono (Seni), serta Muzakkir (Ahli Hukum Pidana)
Kemudian sebagai pihak tekait hadir: MUI diwakili kuasa hukumnya Moh. Assegaf, M. Luthfi, dan Wirawan Adnan; pihak Kowani yang hadir adalah Ketua dan Ka. Bidang Hukum dan HAM Kowani; dari pihak Komnas Perlindungan Anak yang hadir adalah Seto Mulyadi dan seorang staff-nya.
Ahli pertama yang menyampaikan keterangannya adalah Achie Luhulima yang menerangkan bahwasanya dengan adanya UU Pornografi tersebut justru makin membuat
Kemudian setelah Achie Luhulima memberikan keterangan, dua orang penari Tumatenden yang dihadirkan Pemohon Perkara 10/PUU-VII/2009 untuk memperkuat argument dari Ahli mereka sebelumnya. Tarian ini menggunakan pakaian yang cukup terbuka dan rok panjang dengan belahan tinggi. Tarian ini merupakan kesenian Sulut, dan mereka mengatakan bahwa masih ada tarian yang menggunakan pakaian lebih terbuka lagi, dan itu akan terancam dengan adanya UU Pornografi.
Selanjutnya Ahli dari Pemerintah, Tjipta Lesmana mengatakan bahwasanya agar UU tersebut direvisi, karena memang banyak kelemahannya, diantaranya adalah tidak adanya pengecualian terhadap Seni, budaya, olahraga, ilmu pengetahuandan sastra. Justru pengecualian tersebut ditaruh pada pasal penjelasan. Begitu juga dengan definisi yang ada (Pasal yang diuji Pemohon) unsur penting (kesengajaan dan membangkitkan birahi) yang harus ada dalam definisi Pornografi justru kurang dalam Pasal tersebut.
Dia juga mengatakan, sebagian wanita di Papua yang tidak memakai baju adalah budaya yang tidak bisa disentuh dengan UU Pornografi, begitu juga Bali, dan daerah lain tidak perlu takut dengan adanya UU Pornografi. Tjipta Lesmana juga sudah lama menulis tentang bahaya Pornografi, dia juga ikut mengawasi perjalanan penyusunan RUU Pornografi.
Inke Maris (Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) memberikan keterangannya tentang bahaya Pornografi terhadap anak-anak dengan segala macam gambar yang ditampilkan pada Power Point-nya. Tidak ada satupun bantahan terhadap dali-dalil dari Para Pemohon. Hal2 yang diterangkan memang jelas mana yang dianggap Pornografi dan mana yang dianggap seni. Dia juga mengatakan UU Pornografi diperlukan karena peraturan dalam KUHP sangat minim hukumannya. Inke Maris juga banyak memutar potongan-potongan film yang mempertontonkan pornografi bahkan itu diputar di ANTV.
Sumartono, pakar seni yang diajukan oleh pemerintah setuju dengan pendapat Tjipta Lesmana bahwasanya harus ada pengecualian terhadap lima hal tersebut. "Perumusan definisi pornografi yang dapat diterima semua orang bisa dibuat seiring berjalannya waktu," Sumartono mengatakan.
Persidangan setelah istirahat
Rocky Gerung memberikan keterangannya bahwa ketidakpastian pengaturan dalam UU Pornografi akan mengakibatkan kerugian pada perempuan, karena kita masih dalam masyarakat Patriarkis. Dia juga mengatakan bahwa ukuran/dalil moral agama tidak dapat dijadikan landasan atas pembuatan UU, karena hal itu tidak dapat dikontestasikan dalam kehidupan Negara, makanya yang harus dijadikan landasan adalah ayat Konstitusi.
Ade Armando (ahli dari pemerintah) mengatakan bahwa dengan adanya UU Pornografi ini justru majalah Playboy, FHM dsb dapat beredar luas karena masih memberi kelonggaran terhadap hal-hal semacam itu
Roy Suryo (ahli dari pemerintah) memberikan data statistic bahwasanya bahaya Pornografi merupakan kejahatan internet nomor dua di Indonesia.
Taufik Ismail (ahli dari pemerintah) membacakan puisinya tentang “Hilangnya Rasa Malu” yang merupakan terusan dari puisinya yang berjudul Gerakan Syahwat Merdeka.
Mendengar keterangan ahli, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menggarisbawahi mengenai fungsi hukum. “Hukum tidak hanya menertibkan masyarakat, tetapi juga penguasa yang sewenang-wenang.” Sementara Hakim Muhammad Alim, merujuk pada Teori Hans Kelsen, menegaskan berlakunya empat lingkungan dalam hukum, yakni orang, tempat, waktu, dan masalah.
Hakim konstitusi Maria Farida sependapat bahwa UU Pornografi ini multitafsir sehingga menimbulkan kerancuan. "Muatan UU ini membuka kemungkinan bagi orang untuk menafsirkan sendiri-sendiri," kata Maria. Maria Farida juga bertanya pada Pemohon. “Kalau dikatakan Pasal 1 angka 1 bermasalah, apakah menurut anda dengan adanya muatan peraturan ini sudah ada pengurangan pornografi?” tanyanya pada para ahli. Hakim Ahmad Sodiki juga mengingatkan pandangan tentang pluralisme dan pandangan yang menggeneralisasikan keseragaman di seluruh Indonesia.
Para Pemohon mengatakan bahwasanya tidak ada perbedaan tentang bahaya dari Pornografi. Para Pemohon pun menentang Pornografi. Bahwasanya sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesusilaan di dalam KUHP, UU Penyiaran, UU Perlindungan Anak dsb. Justru permasalahannya adalah penegakkan hukum masih minim. Hal ini tidak serta merta menjadi dasar dibuatnya UU Pornografi. Sebagai perbandingan di Amerika butuh riset 15 tahun untuk membuat rumusan UU Pornografi, sedangkan di Indonesia hanya butuh 5 tahun dengan keberagaman budayanya, ini aneh.
Untuk selengkapnya silahkan unduh risalah.
Sidang Pengujian UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang diajukan 3 pihak Pemohon teregistrasi dengan No. 10/PUU-VII/2009 (masyarakat Sulut), 17/PUU-VII/2009 (dipimpin YLBHI) saya ikut dalam tim ini, dan 23/PUU-VII/2009 (dipimpin LBH APIK) dimulai pukul 10.00 WIB. Para Pemohon Perkara No 17/PUU-VII/2009 menghadirkan Rocky Gerung sebagai Ahli Filsafat, sedangkan Para Pemohon Perkara Nomor 23/PUU-VII/2009 menghadirkan Achie S Luhulima sebagai Ahli Feminisme.
Sedangkan Pemerintah menghadirkan Ahli sebagai berikut: Ade Armando (media massa), KRMT Roy Suryo (teknologi informasi), Inke Maris (komunikasi), Taufik Ismail (budayawan), Elly Risman (psikolog), Andre Mayza (neuroscientis), Tjipta Lesmana (komunikasi massa), dan Fery Umar Farouk (surveyor internet), Sumartono (Seni), serta Muzakkir (Ahli Hukum Pidana)
Kemudian sebagai pihak tekait hadir: MUI diwakili kuasa hukumnya Moh. Assegaf, M. Luthfi, dan Wirawan Adnan; pihak Kowani yang hadir adalah Ketua dan Ka. Bidang Hukum dan HAM Kowani; dari pihak Komnas Perlindungan Anak yang hadir adalah Seto Mulyadi dan seorang staff-nya.
Ahli pertama yang menyampaikan keterangannya adalah Achie Luhulima yang menerangkan bahwasanya dengan adanya UU Pornografi tersebut justru makin membuat
Kemudian setelah Achie Luhulima memberikan keterangan, dua orang penari Tumatenden yang dihadirkan Pemohon Perkara 10/PUU-VII/2009 untuk memperkuat argument dari Ahli mereka sebelumnya. Tarian ini menggunakan pakaian yang cukup terbuka dan rok panjang dengan belahan tinggi. Tarian ini merupakan kesenian Sulut, dan mereka mengatakan bahwa masih ada tarian yang menggunakan pakaian lebih terbuka lagi, dan itu akan terancam dengan adanya UU Pornografi.
Selanjutnya Ahli dari Pemerintah, Tjipta Lesmana mengatakan bahwasanya agar UU tersebut direvisi, karena memang banyak kelemahannya, diantaranya adalah tidak adanya pengecualian terhadap Seni, budaya, olahraga, ilmu pengetahuandan sastra. Justru pengecualian tersebut ditaruh pada pasal penjelasan. Begitu juga dengan definisi yang ada (Pasal yang diuji Pemohon) unsur penting (kesengajaan dan membangkitkan birahi) yang harus ada dalam definisi Pornografi justru kurang dalam Pasal tersebut.
Dia juga mengatakan, sebagian wanita di Papua yang tidak memakai baju adalah budaya yang tidak bisa disentuh dengan UU Pornografi, begitu juga Bali, dan daerah lain tidak perlu takut dengan adanya UU Pornografi. Tjipta Lesmana juga sudah lama menulis tentang bahaya Pornografi, dia juga ikut mengawasi perjalanan penyusunan RUU Pornografi.
Inke Maris (Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia) memberikan keterangannya tentang bahaya Pornografi terhadap anak-anak dengan segala macam gambar yang ditampilkan pada Power Point-nya. Tidak ada satupun bantahan terhadap dali-dalil dari Para Pemohon. Hal2 yang diterangkan memang jelas mana yang dianggap Pornografi dan mana yang dianggap seni. Dia juga mengatakan UU Pornografi diperlukan karena peraturan dalam KUHP sangat minim hukumannya. Inke Maris juga banyak memutar potongan-potongan film yang mempertontonkan pornografi bahkan itu diputar di ANTV.
Sumartono, pakar seni yang diajukan oleh pemerintah setuju dengan pendapat Tjipta Lesmana bahwasanya harus ada pengecualian terhadap lima hal tersebut. "Perumusan definisi pornografi yang dapat diterima semua orang bisa dibuat seiring berjalannya waktu," Sumartono mengatakan.
Persidangan setelah istirahat
Rocky Gerung memberikan keterangannya bahwa ketidakpastian pengaturan dalam UU Pornografi akan mengakibatkan kerugian pada perempuan, karena kita masih dalam masyarakat Patriarkis. Dia juga mengatakan bahwa ukuran/dalil moral agama tidak dapat dijadikan landasan atas pembuatan UU, karena hal itu tidak dapat dikontestasikan dalam kehidupan Negara, makanya yang harus dijadikan landasan adalah ayat Konstitusi.
Ade Armando (ahli dari pemerintah) mengatakan bahwa dengan adanya UU Pornografi ini justru majalah Playboy, FHM dsb dapat beredar luas karena masih memberi kelonggaran terhadap hal-hal semacam itu
Roy Suryo (ahli dari pemerintah) memberikan data statistic bahwasanya bahaya Pornografi merupakan kejahatan internet nomor dua di Indonesia.
Taufik Ismail (ahli dari pemerintah) membacakan puisinya tentang “Hilangnya Rasa Malu” yang merupakan terusan dari puisinya yang berjudul Gerakan Syahwat Merdeka.
Mendengar keterangan ahli, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menggarisbawahi mengenai fungsi hukum. “Hukum tidak hanya menertibkan masyarakat, tetapi juga penguasa yang sewenang-wenang.” Sementara Hakim Muhammad Alim, merujuk pada Teori Hans Kelsen, menegaskan berlakunya empat lingkungan dalam hukum, yakni orang, tempat, waktu, dan masalah.
Hakim konstitusi Maria Farida sependapat bahwa UU Pornografi ini multitafsir sehingga menimbulkan kerancuan. "Muatan UU ini membuka kemungkinan bagi orang untuk menafsirkan sendiri-sendiri," kata Maria. Maria Farida juga bertanya pada Pemohon. “Kalau dikatakan Pasal 1 angka 1 bermasalah, apakah menurut anda dengan adanya muatan peraturan ini sudah ada pengurangan pornografi?” tanyanya pada para ahli. Hakim Ahmad Sodiki juga mengingatkan pandangan tentang pluralisme dan pandangan yang menggeneralisasikan keseragaman di seluruh Indonesia.
Para Pemohon mengatakan bahwasanya tidak ada perbedaan tentang bahaya dari Pornografi. Para Pemohon pun menentang Pornografi. Bahwasanya sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesusilaan di dalam KUHP, UU Penyiaran, UU Perlindungan Anak dsb. Justru permasalahannya adalah penegakkan hukum masih minim. Hal ini tidak serta merta menjadi dasar dibuatnya UU Pornografi. Sebagai perbandingan di Amerika butuh riset 15 tahun untuk membuat rumusan UU Pornografi, sedangkan di Indonesia hanya butuh 5 tahun dengan keberagaman budayanya, ini aneh.
Untuk selengkapnya silahkan unduh risalah.